Gimana khabranya hari ini??? ok ok aja...let's enjoy..
Kali ini aq akan berbagi lagi salah satu contoh skripsi STIH Prodi Perbandingan Madhab dan Hukum (PMH) yang mengupas tuntas permasalahan Kawin Kontrak yang akhir-akhir sering dipraktekkan oleh orang-orang tertentu.Bagaimana Islam menjawab masalah ini? please ikuti dan simak baik-baik ok..
ini dia contoh skripsinya..
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul “Realita Nikah Mut’ah (Kawin
Kontrak)” yang di susun berdasarkan data-data yang di peroleh dari berbagai
sumber informasi.
Karya Tulis ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Pendidikan Agama Islam II.
Penulis sangat berterima kasih kepada Bapak Abdullah selaku dosen pembimbing
mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah membiimbing penulis dalam
menyelesaikan makalah ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih
banyak terhadap teman-teman sekalian yang telah membantu banyak dalam penusunan
tugas ini.
Walaupun makalah ini
telah selesai, namun penulis menyadari bahwa penulis bukanlah manusia sempurna
sehingga penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih sangat banyak
memiliki kesalahan dan kekurangan-kekurangan sehingga makalah ini sangatlah
jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, penulis sangatlah berharap mendapat masukan-masukan
mengenai makalah ini agar kedepannya penulis dapat memperbaiki
kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang ada pada makalah ini di
makalah selanjutnya.
Penulis berharap semoga
karya tulis ini dapat bermanfaat bagi
diri sendiri dan para pembaca pada umumnya. Dan penulis berharap bahwa makalah
ini juga bisa menjadi salah satu sumber informasi bagi para pembaca yang sedang
mengkaji masalah yang sama dengan makalah ini
Penulis.
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
- Latar Belakang................................................................................................... 1
- Perumusan Masalah........................................................................................... 2
- Kegunaan Penulisan Karya Tulis ........................................................................ 2
- D.Tujuan Penulisan Karya Tulis......................................................................... 2
- Metodologi........................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
A. TINJAUAN TENTANG
PERKAWINAN
1.
Makna Perkawinan Bagi Manusia.....................................................................
4
2.
Tujuan Perkawinan............................................................................................
8
3.
Syarat-syarat Sahnya Perkawinan.....................................................................
8
B. TINJAUAN TENTANG
NIKAH MUT’AH
1. Definisi nikah mut’ah........................................................................................ 9
2. Tarikh nikah
mut’ah........................................................................................
10
3. Menurut UU No.1 Tahun
1974....................................................................... 11
4. Menurut Hukum Agama
Islam........................................................................
14
5. Menurut Pandangan Kaum Sunni dan
Syiah..................................................,,. 17
6. Tinjauan Historis dan Sosiologogis
...........................................................,,..... 21
7. Menurut Sosial & Budaya
..............................................................................
23
8. Menurut Ekonomi
...........................................................................................
24
9. Fakta Nikah Mut’ah di Indonesia
................................................................... 25
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .....................................................................................................
27
B. Saran ...............................................................................................................
27
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................
29
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia
selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup.
Hidup bersama manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang
bersifat jasmani maupun rohani.
Pada umumnya, pada suatu masa tertentu bagi seorang pria
maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lain,
yang berlainan jenis kelaminnya. Hidup bersama antara seorang pria dan wanita tersebut
tidak selalu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan biologis kedua manusia tersebut
saja, tetapi pada umumnya dapat dikatakan, menyalurkan kebutuhan biologis
merupakan faktor pendorong yang penting untuk hidup bersama tadi, baik dengan
keinginan mendapat anak keturunannya sendiri, maupun hanya untuk memenuhi hawa
nafsu belaka.
Hidup bersama antara seorang pria dan wanita tersebut mempunyai akibat yang
sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap
keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
peraturan yang mengatur tentang hidup bersama tersebut.Dengan demikian sejak
dulu kala hubungan pria dan wanita dalam perkawinan telah dikenal, walaupun
dalam sistem yang beraneka ragam, mulai dari yang bersifat sederhana sampai
kepada masyarakat yang berbudaya tinggi, baik yang pengaturannya melalui
lembaga-lembaga masyarakat adat maupun denganperaturan perundangan yang
dibentuk melalui lembaga kenegaraan serta ketentuan-ketentuan yang digariskan
agama.
Manusia adalah mahluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan oleh Allah
dibandingkan dengan mahluk-mahluk lainnya. Allah menetapkan adanya aturan
tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar,
manusia tidak boleh berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis
semaunya atau seperti tumbuh-tumbuhan yang kawin dengan perantara angin. Allah
telah memberikan batas dengan peraturan-peraturannya,yaitu dengan syare’at yang
terdapat dalam Kitab-Nya dan Hadist Rasul-Nya dengan hukum-hukum perkawinan.
Namun kenyataannya dalam perkembangan masyarakat sekarang ini ada yang
menyalahgunakan perkawinan dengan melakukan nikah mut’ah seperti yang terjadi
kota tertentu seperti bogor . Istilah nikah mut’ah menggambarkan suatu
perkawinan yang dilakukan berdasarkan kontrak yang berisi perjanjian untuk
hidup bersama sebagai suami istri dalam jangka waktu tertentu dengan adanya
imbalan. Pelaksanaan nikah mut’ah sangat bertentangan dengan UU No.1 Tahun
1974 tentang perkawinan, walaupun nikah mut’ah tidak
diatur secara khusus karena nikah mut’ah merupakan fenomena baru dalam masyarakat.
Tujuan dari nikah mut’ah adalah untuk menyalurkan nafsu birahi tanpa adanya
keinginan untuk hidup bersama dan membentuk rumah tangga yang kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa bahkan terkadang juga tidak mengharapkan adanya
keturunan, hal ini tentu saja bertentangan dengan tujuan perkawinan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang melatar belakangi dan
menjadi tujuan wanita bersedia melakukan nikah mut’ah?
2.
Dimanakah biasanya
nikah mut’ah banyak/sering dilakukan?
3.
Bagaimana nikah
mut’ah dilihat dari perspektif islam dan dari perspektif budaya norma Indonesia?
4.
Wanita yang seperti
apakah yang biasanya melakukan nikah mut’ah?
5.
Mengapa nikah mut’ah
diharamkan?
C. KEGUNAAN
a. Bagi penulis pembahasan ini
merupakan wahana latihan pengembangan ilmu pengetahuan dan ketrampilan.
b. Dengan pembahasan ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
hukum perdata pada umumnya dan hukum perkawinan pada khususnya.
D. TUJUAN
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang dan tujuan wanita
melakukan kawin kontrak atau nikah mut’ah.
2. Untuk mengetahui proses pelaksanaan kawin kontrak
(nikah mut’ah)
E.
METODOLOGI
Kegiatan
penulisan karya tulis ini dilakukan dengan menggunakan metode tinjauan pustaka.
Penulisan ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data
atau informasi-informasi terkait melalui buku, jurnal, dan tulisan-tulisan di website.
BAB II
PEMBAHASAN
A. TINJAUAN TENTANG
PERKAWINAN
1. Makna Perkawinan
Bagi Manusia
Aristoteles, seorang
filsuf Yunani, yang terkemuka, pernah berkata bahwa manusia adalah zoon
politicon, yaitu selalu mencari manusia lainnya untuk hidup bersama dan
kemudian berorganisasi. Hidup bersama merupakan suatu gejala yang biasa bagi
seorang manusia, dan hanya manusia-manusia yang memiliki kelainan-kelainan
sajalah yang mampu hidup mengasingkan diri dari orang-orang lainnya dalam
bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya keluarga. Keluarga-keluarga
tersebut akan terbentuk dengan adanya perkawinan, antara menusia yang berlainan
jenis.
Perkawinan memiliki
peranan yang sangat penting dalam masyarakat. Perkawinan merupakan suatu
kegiatan yang pokok dan utama untuk mengatur kehidupan rumah tangga.
Selanjutnya diharapkan adanya keturunan yang merupakan susunan masyarakat kecil
dan nantinya akan menjadi anggota masyarakat yang luas. Dengan adanya keturunan
yang diperoleh melalui perkawinan, manusia dapat memlihara kelestarian jenisnya
sehingga manusia keberadaannya tidak akan punah dari dunia ini. Perkawinan
diharapkan juga akan memberikan kebahagiaan baik lahir maupun batin bagi
manusia.
a. Makna
Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
Menurut ketentuan pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun
1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat
karena dibentuk menurut undang-undang. Hubungan mana mengikat kedua pihak dan
pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang
dibentuk dengan kemaunan bersama yang sungguhsungguh yang mengikat kedua pihak
saja. Suami istri ialah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya
ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir batin berarti tidak ada fungsi
sebagai suami istri. Dalam rumusan UU No.1 Tahun 1974, mengandung harapan bahwa
dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh kebahagiaan, baik materiil
maupun spirituil. Kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah kebahagiaan yang
sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan yang kekal, karenanya perkawinan
yang diharapkan juga adalah perkawinan yang kekal yang dapat berakhir dengan
kematian.
Makna perkawinan dalam
UU No.1 Tahun 1974, adalah perkawinan dapat memenuhi kebutuhan lahiriah sebagai
manusia, sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami dan istri
yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan
bahagia bagi keduanya, yang sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Dari
perkawinan tersebut, diharapkan akan lahir keturunan, sehingga manusia dapat
melestarikan jenisnya.
b. Makna
Perkawinan Menurut Hukum Agama Islam
Pengertian perkawinan
menurut hukum islam ialah, suatu akad atau perikatan guna mengesahkan
(menghalalkan) hubungan seksual (kelamin) antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman
serta kasih sayang dengan jalan yang diridhoi Allah SWT.
Menurut hukum islam,
nikah adalah akad yang mengandung kebolehan untuk bersetubuh dengan lafadz atau
terjemahan dari katakata tersebut. Jadi maksud pengertian tersebut adalah
apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat untuk membentuk suatu rumah
tangga, maka hendaknya keduanya melakukan akad nikah lebih dahulu.
Kata kawin menurut
istilah hukum islam sama dengan kata nikah atau zawaj. Yang dinamakan menikah
menurut syara’ ialah akad (ijab qabul) antara wali calon istri dan mempelai
laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Perkawinan dalam bahasa
arab ialah nikah. Menurut Syara’, hakikat nikah itu ialah aqad antara calon
istri dan calon suami untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri. nikah
adalah perjanjian dan ikatan lahir batin antara laki-laki dengan seorang perempuan
yang dimaksudkan, untuk bersama serumah tangga dan untuk berketurunan, serta
harus dilangsungkan memenuhi rukun dan syarat-syaratnya menurut Islam dan
negara.
Dari pengertian
perkawinan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan menurut hukum
islam adalah suatu akad (perjanjian) yang suci untuk hidup sebagai suami istri
yang sah, membentuk keluarga bahagia dan kekal, yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1). Ikatan yang suci antara seorang pria dan seorang wanita.
2). Membentuk keluarga bahagia dan sejahtera (makruf, sakinah, mawaddah dan
rahmah).
3). Kebahagiaan yang kekal dan abadi penuh kesempurnaan baik moral maupun
spiritual.
Perkawinan adalah sunatullah, Allah SWT sangat menganjurkan
perkawinan, karena perkawinan memiliki peranan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Dengan melaksanakan perkawinan manusia diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan baik lahiriah maupun batiniah, dan memperoleh kebahagiaan
dari perkawinan tersebut. Makna penting perkawinan bagi manusia diantaranya
adalah:
1). Memelihara
kelestarian jenis manusia Termasuk kebenaran yang tidak dapat dibantah adalah bahwasanya
perkawinan merupakan jalan untuk memperbanyak keturunan manusia dan perbuatan
yang pokok dalam usaha pelestarian dan kekelannya. Karena Allah SWT telah
mewariskan bumi dan segala isinya kepada manusia Sebagai salah satu mahluk
hidup di dunia ini, manusia harus bereproduksi untuk melestarikan jenisnya.
Namun cara-cara bereproduksi manusia sangat berbeda dengan mahluk-mahluk lainnya.
Manusia adalah mahluk yang paling dimuliakan Allah SWT, karena memiliki akal,
sehingga membedakannya dengan mahluk lain.
Manusia bereproduksi
melalui lembaga yang disebut perkawinan. Dari perkawinan ini diharapkan akan
lahir keturunan-keturunan, sehingga jenis manusia tidak akan punah dan dapat
terus mengelola bumi dan seluruh isinya yang telah diwariskan Allah SWT.
2). Menjaga jalur keluarga
(nasab) Dengan perkawinan yang disyari’atkan oleh Allah SWT, seorang anak akan
jelas garis keturunannya/nasab. Karena nasab adalah kehormatan mereka yang
sejati, kemuliaan kemanusiaan. Jika tidak ada perkawinan maka masyarakat akan
dipenuhi oleh manusia-manusia tanpa kemuliaan dan garis keturunan yang jelas. Keadaan
ini merupakan penyebab kerusakan akhlak, dan menyebarkan kerusakan, dekadensi
dan kehidupan serba boleh.
3). Menyelamatkan
masyarakat dari dekadensi moral Dengan melaksanakan perkawinan seseorang telah menyelamatkan
masyarakat dari dekadensi (kerusakan) moral serta mengamankan pribadi dari
kerusakan masyarakat. Karena hasrat untuk menyukai lawan jenis telah terpuaskan
dengan perkawinan yang sesuai syari’at dan jalan yang halal. Hasrat untuk menyukai
lawan jenis pada manusia haruslah disalurkan dengan jalan yang halal yaitu
melalui perkawinan. Perkawinan akan menyelamatkan masyarakat dari penyakit menular
dan membahayakan yang tersebar akibat perilaku seks bebas, zina dan
perbuatan-perbuatan keji lainnya, seperti AIDS, penggunaan miras dan NAPZA
(Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiftif).
Pernikahan
dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan
kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan
yang berlaku.
Perkawinan
adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah
pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan
dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang
sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang
Dasar dan Tujuan
Pernikahan Menurut Agama Islam :
Dasar Hukum Agama Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 24-An Nuur : 32)
وَ أَنْكِحُوا الْأَيامى مِنْكُمْ وَ الصَّالِحينَ مِنْ عِبادِكُمْ
وَ إِمائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَراءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَ اللهُ
واسِعٌ عَليمٌ
(32) Dan kawinlah laki-laki dan perempuan yang janda di antara kamu, dan budak-budak laki-laki dan perempuan yang patut buat berkawin. Walaupun mereka miskin, namun Allah akan memampukan dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan kehendak hambaNya).
(32) Dan kawinlah laki-laki dan perempuan yang janda di antara kamu, dan budak-budak laki-laki dan perempuan yang patut buat berkawin. Walaupun mereka miskin, namun Allah akan memampukan dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan kehendak hambaNya).
Tujuan Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 30-An Ruum : 21)
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”
[Ar-Rum 21].
Perkawinan adalah
sunatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan tidak hanya dilakukan oleh manusia,
tetapi hewan bahkan juga tumbuhan. Seperti
firman Allah dalam Al Qur’an yaitu:
Surat Yasin ayat 36
يَعْلَمُونَ
لا وَمِمَّا أَنْفُسِهِمْ وَمِنْ الأرْضُ تُنْبِتُ مِمَّا هَاكُلَّالأزْوَاجَ خَلَقَ
الَّذِي سُبْحَانَ
“Maha suci
Allah yang telah menjadikan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan di bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui.”
Surat
Adz Dzariyat ayat 49
تَذَكَّرُونَ
لَعَلَّكُمْ زَوْجَيْنِ خَلَقْنَا شَيْءٍ كُلِّ وَمِنْ
“Dan dari
segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan
kebesaran Allah.”
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan ialah
: perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan
rumah tangga yang damai dan teratur.
Maksud dan tujuan
perkawinan dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Mentaati perintah Allah SWT, dan
mengikuti jejak para nabi dan rasul, terutama meneladani sunah Rasulullah
Muhammad SAW, karena hidup beristri, berumah tangga dan berkeluarga adalah
termasuk sunah beliau.
2. Memelihara pandangan mata, menentramkan
jiwa, memelihara nafsu seksual, menenangkan pikiran, membina kasih sayang serta
menjaga kehormatan dan memelihara kepribadian.
3. Melaksanakan pembangunan materiil
dan spiritual dalam kehidupan keluargadan rumah tangga sebagai sarana
terwujudnya keluarga sejahtera dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa.
4. Memelihara dan membina kualitas dan
kuantitas keturunan untuk mewujudkan kelestarian kehidupan keluarga disepanjang
masa dalam rangka pembinaan mental spiritual dan fisik matriil dan yang
diridhoi Allah SWT.
5. Mempererat dan memperkokoh tali keluarga dan
antara keluarga suami dan keluarga istri sebagai sarana terwujudnya kehidupan
masyarakat yang aman dan sejahtera lahir dan batin dibawah naungan rahmat Allah
SWT.
3. Syarat-syarat Sah nya Perkawinan
Perkawinan yang sah
menurut hukum Islam adalah perkawinan yang memenuhi rukun-rukun dan
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Syarat umum yaitu tidak ada larangan
perkawinan
2. Syarat khusus yaitu adanya calon
pengantin laki-laki dan calon pengantin wanita. Kedua calon mempelai ini
haruslah Islam, akil baligh (dewasa dan berakal), sehat baik rohani maupun
jasmani.
3. Harus ada persetujuan bebas antara
kedua calon mempelai
4. Harus ada wali nikah
5. Harus ada dua (2) orang saksi
6. Bayarlah mahar (mas kawin)
7. Sebagai proses terakhir dan lanjutan
dari akad nikah ialah pernyataanpernyataan ijab dan qabul.
B.
TINJAUAN TENTANG NIKAH MUT’AH
1. Definisi Nikah Muth'ah
Nikah secara bahasa artinya berkumpul atau bercampur,
sedangkan menurut syari’at secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz
adalah al-wath’u (hubungan
seksual) menurut pendapat yang shahih,
karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam
kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan).Kata mut’ah dan derivasinya disebutkan sebanyak 71 kali dalam
Al-Qur’an, dalam surat yang berbeda-beda, walaupun maknanya bermacam-macam
tetapi kembali kepada satu pokok seputar pengambilan manfaat atau keuntungan.
Nikah muth'ah
adalah ikatan seeorang laki-laki dengan seseorang perempuan dalam batas waktu
tertentu dengan upah tertentu pula. Menurut imam-imam
madzhab di dalam kitab mereka, nikah muth'ah adalah pernikahan dengan batasan
waktu baik waktunya sudah diketahui atau tidak, kurang lebih lamanya waktu
adalah sampai empat puluh lima hari, kemudian nikah itu naik dengan mengganti
batas waktu tersebut dengan batasan satu kali haidh atau dua kali haidh pada
wanita yang haidh. Dan selama 4 bulan 10 hari pada wanita yang ditinggal mati
suaminya, dan hukum nikah tersebut bahwasanya tidak ditetapkan mahar tanpa
syarat baginya, dan tidak ditetapkan nafkah baginya, dan tidak ada
waris-mewaris, tidak ada I'ddah kecuali meminta lepas menurut yang ia ingat,
dan tidak ditetapkan nasab. Dari definisi tersebut bahwasanya
perkawinan yang seperti ini terjadi kontradiksi terhadap arti nikah
sesungguhnya. Bahwa nikah itu adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang
teguh yang ditegakkan di atas landasan niat untuk bergaul antara suami istri
dengan abadi supaya memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam
al-qur'an yaitu ketentraman, kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang
bersifat duniawi adalah demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup
manusia. Seperti Firman Allah :
والله جعل
لكم من انفسكم ازواجا وجعل لكم من ازواجكم بنين وحفدة (النحل : )
Artinya :
Allah telah menjadikan jodoh
bagimu dari jenismu sendiri (laki-laki dan perempuan), dan dari perjodohanmu
itu anak-anakmu. (An-nahl : 76)
يايهاالناس
اتقوا ربكم الذى خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهارجالا كثيرا ونساء
(ألنساء :1 )
Artinya :
Wahai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan
dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (An-nisa' : 1)
2. Tharikh nikah Muth'ah
Nikah muth'ah
pernah diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum stabilitasnya syari'at islam,
yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan peperangan. Akan tetapi
kemudian diharamkan. Rahasia diperbolehkan nikah muth'ah waktu itu adalah
karena masyarakat islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan
dari jahiliyah kepada islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal
yang biasa. Maka setelah islam datang dan menyeru
pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka
adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan
adapula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah
untuk berbuat zina yang merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang.
Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipoternkan
kemaluannya. Seperti apa yang dikatakatan oleh Ibn Mas'ud :
عن بن مسعود
قال : كنا نغزوا مع رسول الله صام وليس معنا نساء فقلنا : ألا نستخصى؟
فنهانا رسول الله صام عن ذالك. ورخص لنا ان ننكح المرأة الثوب إلى أجل.
Artinya :
Dari mas'ud berkata : waktu itu
kami sedang perang bersama Rasulullah SAW dan tidak bersama kami wanita, maka
kami berkata : bolehkah kami mengkebiri (kemaluan kami). Maka Raulullah SAW
melarang kami melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan keringanan kepada kami untuk
menikahi perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu.
Tetapi rukhshah
yang diberikan nabi kepada para shabat hanya selama tiga hari setelah itu
Beliau melarangnya, seperti sabdanya :
وعن سلمة بن
الأكوع قال : رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أوطاس فى المطعة, ثلاثة أيام,
ثم نهى عنها (رواه مسلم )
Artinya :
Dari Salamah bin Akwa' berkata :
Rasulullah SAW memberikan keringanan nikah muth'ah pada tahun authas
(penaklukan kota Makah) selama 3 hari kemudian beliau melarangnya (HR Muslim)
Dari hadis
Salamah ini memberikan keterangan bahwasanya Rasulullah pernah memperbolehkan
nikah muth'ah kemudian melarangnya dan menasah rukhshah tersebut. Menurut
Nawawi dalam perkataannya bahwasanya pelarangannya dan kebolehannya terjadi dua
kali, kebolehannya itu sebelum perang khaibar kemudian diharamkannya dalam
perang khaibar kemudian dibolehkan lagi pada tahun penaklukan Makah (tahun
Authas), setelah itu nikah muth'ah diharamkan selama-lamanya, sehingga
terhapuslah rukhshah itu selama-lamnya. Seperti dalam hadis Rasulullah SAW :
وعن علي رضي
الله تعالى عنه قال : نهى رسول الله صام عن المتعة عام خيبر (متفق عليه)
Artinya :
Dari Ali ra. berkata : Rasulullah
melarang nikah muth'ah pada tahun Khaibar.
وعن ربيع بن
سبورة, عن أبيه رضي الله عنه, أن رسول الله صام قال : إنى كنت أذنت لكم
الإستمناع من النساء, وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة (أخرجه مسلم وأبو داود
والنساء وأحمد وابن حبان)
Artinya :
Dari Rabi' bin Saburah, dari
ayahnya ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : sesungguhnya aku telah
memberikan izin kepadamu untuk memintak muth'ah dari wanita, dan sesungguhnya
Allah SAW telah mengharamkan itu sampai hari kiamat (HR Muslim, Abu Daud,
Nasai', Ahmad, dan Ibn Majah)
3. Nikah Mut’ah Di Tinjau dari UU No.1 TAHUN 1974
Perkawinan menurut UU
No.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin diantara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga perkawinan merupakan salah satu
tujuan hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, khususnya
dalam rangka melanjutkan atau meneruskan keturunan dan diharapkan pula dengan
adanya perkawinan mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik lahir maupun
batin. Dalam perkembangan masyarakat sekarang ini, munculah istilah nikah
mut’ah atau dalam bahasa indonesianya kawin kontrak. Nikah mut’ah atau kawin
kontrak tidak diatur dalam UU No.1 tahun 1974, karena nikah mut’ah merupakan sebuah fenomena baru dalam
masyarakat. Nikah mut’ah menggambarkan sebuah perkawinan yang didasarkan pada
kontrak atau kesepakatan-kesepakatan tertentu, yang mengatur mengenai jangka
waktu perkawinan, imbalan bagi salah satu pihak, hak dan kewajiban
masing-masing pihak, dan lain-lain. Tujuan
dari nikah mut’ah adalah untuk menyalurkan nafsu
birahi, tanpa disertai adanya keinginan untuk membentuk rumah tangga yang
kekal, serta terkadang juga tidak mengharapkan adanya keturunan. Nikah mut’ah
merupakan perkawinan yang bersifat sementara, dan sangat menonjolkan nilai
ekonomi, menyebabkan perkawinan ini berbeda dengan perkawinan.
Pada umumnya, sehingga
nikah mut’ah dianggap menyimpang dari tujuan perkawinan yang mulia. Kawin
kontrak(Nikah mut’ah) merupakan perkawinan berdasarkan kontrak yang dalam
pelaksanaannya bersifat sementara, dan lebih menonjolkan nilai ekonomi,
sehingga sangat bertentangan dengan perkawinan yang dikonsepkan dalam UU No.1
tahun 1974. Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan asas-asas
perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Beberapa asas tersebut diantaranya adalah:
a. Tujuan perkawinan
Menurut UU No.1 tahun
1974, setiap perkawinan harus mempunyai tujuan membentuk keluarga/rumah tangga
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang tidak
mempunyai tujuan ini, bukan perkawinan dalam arti yang dimaksud dalam UU No.1
tahun 1974 Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan tujuan perkawinan
dalam UU No.1 tahun 1974.
Kawin kontrak hanya
bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan biologis tanpa disertai keinginan untuk
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, serta sangat mengharapkan
keuntungan secara ekonomi dari dilaksanakannya perkawinan, selain itu memiliki
keturunan bukan merupakan tujuan utama dalam kawin kontrak.
b. Perkawinan kekal
Menurut UU No.1 tahun
1974, sekali perkawinan dilaksanakan, maka berlangsunglah perkawinan tersebut
seumur hidup, tidak boleh diputuskan begitu saja. Perkawinan kekal tidak
mengenal batas waktu. Perkawinan yang bersifat sementara sangat bertentangan
dengan asas tersebut. Jika dilakukan juga maka perkawinan tersebut batal. Kawin
kontrak sangat bertentangan dengan asas ini. Kawin kontrak merupakan perkawinan
yang bersifat sementara, karena jangka waktunya dibatasi. Kawin kontrak tidak
bersifat kekal, apabila jangka waktunya telah habis maka perkawinan dapat
diputuskan.
c. Perjanjian Perkawinan
Mempelai laki-laki dan
mempelai perempuan yang akan melangsungkan perkawinan dapat membuat perjanjian
perkawinan. Hal ini diatur dalam pasal 29 UU No.1 tahun 1974 yang bunyinya:
Pasal 1, “Pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan. Setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Pasal 2, “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan
bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.”
Pasal 3, “Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan.”
Pasal 4, “Selama perkawinan berlangsung perjanjian
tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian
untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.” Menurut isi
ketentuan pasal 29 tersebut, perjanjian
perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1). Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,
2). Dalam bentuk tertulis disahkan oleh pegawai
pencatat,
3). Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum,
agama, dan kesusilaan,
4). Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
5). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak
dapat diubah,
6). Perjanjian dimuat dalam akta perkawinan.
Dalam perjanjian
perkawinan tidak termasuk taklik talak. Taklik talak adalah perjanjian yang
diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah berupa janji talak yang
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi pada masa yang
akan datang. Isi perjanjian perkawinan dapat mengenai segala hal, asal saja
tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Akibat hukum adanya
perjanjian perkawinan antara suami
dan istri adalah sebagai berikut:
1). Perjanjian mengikat pihak suami dan istri,
2). Perjanjian mengikat pihak ketiga yang
berkepentingan,
3). Perjanjian hanya dapat diubah dengan persetujuan
kedua pihak suami dan istri, serta disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan. Dalam kawin
kontrak juga terdapat perjanjian perkawinan. Namun perjanjian perkawinan dalam
kawin kontrak sangat bertentangan dengan perjanjian perkawinan dalam UU No.1
tahun 1974. Menurut UU No.1 tahun 1974, perjanjian perkawinan diperbolehkan
selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian
perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan.
Karena isi perjanjian
perkawinan dalam kawin kontrak mengatur tentang jangka waktu/lamanya
perkawinan, imbalan yang akan diperoleh salah satu pihak, hak dan kewajiban
masing-masing pihak, dan lain-lain. Dari isi perjanjian perkawinan tersebut
menyebabkan kawin kontrak menjadi perkawinan yang bersifat sementara karena waktunya
dibatasi, dan sangat menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan
dengan hukum, agama, dan norma-norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat.
Perkawinan yang sesuai dengan hukum, agama, dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat
adalah perkawinan yang bersifat kekal, selama-lamanya, tidak hanya untuk
kebahagiaan dunia tetapi juga untuk akhirat. Isi perjanjian perkawinan yang
bertentangan dengan batas-batas agama, hukum dan kesusilaan tidak
diperbolehkan, jadi dianggap tidak pernah ada perjanjian perkawinan. Apabila
perjanjian perkawinan tetap ada maka perkawinan tersebut batal karena melanggar
ketentuan UU No.1 tahun 1974.
Menurut Efa Laela
Fakhriah, secara hukum bila pernikahan berdasarkan kontrak dengan maksud
mengadakan perjanjian untuk waktu tertentu dan juga ada imbalan, jelas
menyalahi UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Jadi tidak ada perkawinan
secara hukum. Apabila kawin kontrak didasarkan pada hukum perjanjian, juga tidak
bisa. Syarat sahnya perjanjian ada 4, yaitu sepakat kedua belah pihak, cakap
dalam perikatan, yang diperjanjikan adalah suatu hal tertentu, dan perjanjian dilakukan
atas kausa yang halal.
Perkawinan sendiri
bukanlah perjanjian biasa, apalagi melihat tujuannya untuk membangun sebuah
keluarga. Artinya, kehidupan baru yang dibangun bukanlah untuk kenikmatan
sesaat atau dibangun berdasarkan kesepakatan untuk waktu tertentu. Jadi kawin
kontrak sendiri bukan bentuk yang disyaratkan UU No.1 tahun 1974.
4. Menurut Hukum Agama Islam
Dikalangan umat islam,
sudah sejak lama dikenal kawin kontrak yaitu dengan istilah nikah mut’ah.
Diawal era islam nikah mut’ah telah ada, adanya nikah mut’ah karena banyak
orang-orang tidak berada dinegerinya atau ditempat tinggalnya karena sedang
dalam peperangan ditempat yang jauh dan dalam perjalanan yang panjang. Pada
saat itu masih banyak orang-orang yang meninggalkan masa jahiliyah dan kekafiran,
sehingga untuk menghentikan mereka dari perbuatan keji dilakukan dengan cara
bertahap. Kata nikah mut’ah berasal dari kata At-tamatu yang menurut bahasa
arab mempunyai arti bersenang-senang.
Menurut istilah fikih, nikah
mut’ah atau kawin kontrak adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan,
dengan memberikan sejumlah harta tertentu, dalam waktu tertentu, pernikahan ini
akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan, tanpa talak,
tanpa kewajiban memberi nafkah maupun tempat tinggal dan tanpa adanya saling
mewarisi antara keduanya, jika salah satu dari keduanya mati sebelum
berakhirnya nikah mut’ah itu. Kawin ini di katakan mut’ah atau
bersenang-senang, karena akadnya semata-mata untuk senang-senang saja antara
laki-laki perempuan dan untuk memuaskan nafsu, bukan untuk bergaul untuk sebagai
suami istri, bukan untuk mendapatkan keturunan atau hidup sebagai suami istrui
dengan membina rumah tangga sejahtera.
Nikah mut’ah atau
kawin mut’ah juga dinamakan kawin muaqqat artinya kawin untuk
waktu tertentu atau kawin munqathi artinya kawin terputus yaitu
seorang laki-laki mengikat perkawinan dengan perempuan untuk beberapa
hari, seminggu atau sebulan. Menurut
pendapat seorang ahli tafsir Ibnu’Athiyah Al Andalusi, bahwa nikah mut’ah
atau kawin kontrak adalah seorang lelaki menikahi seorang wanita
dengan dua orang saksi dan izin wali dalam waktu tertentu, tanpa adanya
saling mewarisi antara keduanya. Silelaki memberinya uang menurut
kesepakatan keduanya. Apabila masanya telah berakhir, maka silelaki tak
mempunyai hak lagi atas siwanita, dan siwanita harus membersihkan rahimnya.
Apabila tidak hamil maka ia dihalalkan menikah lagi dengan lelaki lainnya. Pada
pelaksanaan nikah mut’ah adanya saksi dalam akad nikah, hukumnya mustahab/tidak
mewajibkannya.
Demikian pula izin wali tidaklah
merupakan suatu keharusan hanya saja hal itu merupakan suatu kehati-hatian jika
siwanita masih gadis. Dalam kawin mut’ah tidak aturan tentang talak karena perkawinan
itu akan berakhir dengan habisnya waktu yang telah ditentukan. Setelah masa
nikah berakhir, masa iddah bagi istri adalah 2 kali haid. Jika tidak datang
bulan, maka masa iddahnya 45 hari, tapi jika suami meninggal dunia masa
iddahnya 4 bulan 10 hari, dan tidak ada hak waris-mewarisi suami istri
tersebut. Nikah mut’ah dilarang dalam islam, berdasarkan firman Allah dalam
Al Quran surat Al Mukminun ayat 7 yang artinya “Barang siapa yang mencari di
balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampai batas”. Sedang Hadist
Rasulullah yang mengharamkan nikah mut’ah seperti diriwayatkan oleh Ahmad,
Muslim dan Ibnu Hibban adalah “Wahai sekalian manusia, sungguh saya pernah
mengizinkan kalian untuk kawin mut’ah, ingatlah bahwa sekarang Allah
telah mengharamkannya sampai hari kaimat”.
Nikah mut’ah termasuk
menyimpang dari ketentuan yang digariskan Allah, karena wanita yang di akad/
diikat kontrak tersebut tidak termasuk budak wanita yang dimilikinya dan tidak
pula termasuk istrinya. Adapun akad perkawinan selalu diikuti oleh sahnya
talak, saling mewarisi, iddah dan kewajiban memberi nafkah, yang mana semua itu
tidak ada praktisi hukumnya dalam nikah mut’ah. Di dalam nikah mut’ah tidak
terdapat persyaratan sebagaimana yang ada pada nikah biasa kecuali akad dalam
bentuk perjanjian biasa. Selain itu tujuan luhur yang terkandung dalam
perkawinan tidak ada dalam nikah mut’ah. Seseorang yang melakukan nikah
mut’ah tidak bertujuan mempunyai anak, bahkan nikah mut’ah bisa berakibat tidak
menentunya garis keturunan. Dan sya’riat menganjurkan supaya akad nikah
didasarkan atas dasar kasih sayang, cinta dan rasa kebersamaan dalam hidup.
Rasa saling menyayangi
dan kebersamaan tidak akan timbul dari ikatan atau akad yang hanya bertujuan
untuk melampiaskan nafsu syahwat dalam jangka waktu terbatas, bukankah
pernikahan seperti itu sama dengan praktik zina. Dan bukankah zina itu bukan
terjadi atas dasar suka sama suka antara keduanya sekedar untuk mengumbar nafsu
dan itulah yang menjadi dasar terjadinya nikah mut’ah. Maka apabilanikah
mut’ah dibolehkan, maka hal ini akan dijadikan kesempatan bagi orang-orang
yang suka berbuat iseng untuk menghindari ikatan perkawinan yang sah.
Untuk
mencegah terjadinya nikah mut’ah, Majelis Ulama Indonesia sebenarnya telah
mengeluarkan fatwa No. Kep-B-679/MUI/XI/1997. Fatwa itu memutuskan bahwa nikah
mut’ah haram hukumnya dan pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendapat Para Ulama' Tentang
hukum Nikah Muth'ah
1. Jumhur Ulama'
Kebanyakan dari
para shahabat dan semua Ulama'-Ulama' fiqih mengharamkan nikah muth'ah
berdasarkan hadist Rasulullah yang mutawatir tentang pengharaman nikah
tersebut. Yang menjadi ikhtilaf dikalangan mereka adalah waktu pengharaman
nikah muth'ah. Dari sebagian riwayat yang
mengharamkannya pada perang khaibar, ada yang sebagian pada penaklukan Makah,
ada yang sebagian pada waktu perang Tabuk, ada yang sebagian pada haji wada',
ada yang sebagian pada umrah qadha' dan ada sebagian pada waktu tahun Authas.
2. Ibn Abbas
Yang telah
terkenal bahwasanya Beliau menghalalkan nikah muth'ah. Ibn Abbas ini mengikuti pendapat dari ahli Makah dan Ahli Yaman, mereka meriwayatkan
bahwasanya Ibn Abbas dalam Firman Allah :
فَمَااسْتَمْتَعْتُمْ
بِهِ مِنْهُنَّ فَأُتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
(النساء : )
Artinya :
Maka istri-istri yang telah kamu
ni'mati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagaian sebagai kewajiban dan tiada dosa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar.
(An-nisa' : 24)
Dan pada suatu
huruf darinya (ibn Abbas) sampai batas waktu yang ditentukan, diriwayatkan
darinya sesungguhnya dia berkata : "muth'ah (bersenang-senang terhadap
istri) tidak lain adalah rahmat dari Allah Azza Wa Jalla, Dia telah memberikan
rahmat kepada umat Muhammad SAW berupa muth'ah, dan Umar tidak melarangnya
karena dalam keadaan terpaksa takut untuk zina kecuali bagi yang impoten. Dan
ini diriwayatkan dari Ibn Abbas rawi darinya Jarih, Umar, dan Ibn Dinar. Dari
Atha' ia berkata : saya mendengar jabir bin Abdillah berkata : kami melakukan
nikah muth'ah sejak masa Rasulullah kemudian kepemimpinan Abu Bakar, dan
setengah dari kepemimpinan Umar kemudian setelah itu Umar melarang muth'ah
kepada semua manusia (umat muslim).
Gambaran Nikah Mut’ah di zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
Di dalam
beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelas sekali
gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu
‘anhum. Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
·
Dilakukan pada saat mengadakan safar
(perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu
tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
·
Tidak ada istri atau budak wanita
yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
·
Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3
hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
·
Keadaan para pasukan sangat darurat
untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan
bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no.
1406)
5.
Menurut Pandangan Kaum Sunni dan Syiah
a) Pandangan Kaum Syi’ah (Itsna ‘Asyariyah)
Dasar
legitimasi kaum Syi’ah terhadap nikah mut’ah adalah QS an-Nisa’, 4: 24,
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ
مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا
تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا
حَكِيمًا
Dalam Tarikh
al-Fiqh al-Ja’fari dijelaskan, bahwa ketika Abu Nashrah bertanya kepada Ibn
Abbas tentang nikah mut’ah, Ibn Abbas menerangkan, nikah itu diperbolehkan
dengan bersarkan َQS an-Nisa’, 4: 24 seperti telah ditulis di atas. Akan tetapi
menurut Ibn Abbas, lengkapnya ayat itu adalah (terdapat kalimat tambahan الى
اجل مسم ):
فَمَا
اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ (الى اجل مسم) فَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Sahabat lain
yang sependapat dengan Ibn Abbas (termasuk membenarkan bacaan Ibn Abbas
terhadap Q.S. an-Nisa’: 24) adalah Ibn Mas’ud, Ubay Ibn Ka’ab, dan Said Ibn
Zubair.
Kaum Syi’ah
berpendirian bahwa praktik nikah mut’ah terdapat pada masa Nabi dan Khalifah
Pertama. Baru pada periode Khalifah Kedua, yakni Khalifah Umar Ibn Khattab,
nikah mut’ah dilarang. Ucapan Umar saat itu adalah:
“Saya telah
melarang dua jenis mut’ah yang ada di masa Nabi dan Abu Bakar, dan saya akan
berikan hukuman kepada mereka yang tidak mematuhi perintah-perintah saya. Kedua
mut’ah itu adalah mut’ah mengenahi haji dan mut’ah mengenai wanita.”
Kalau
melihat ucapan Khalifah umar di atas, maka dapat dipahami bahwa nikah mut’ah
dipraktikkan oleh para sahabat pada baik pada masa Nabi maupun Khalifah Abu
Bakar. Dalam Sunnah Baihaqy 7: 206, terdapat pula keterangan yang menunjukkan
larangan Umar terhadap nikah mut’ah, walaupun banyak para shahabat yang
melakukannya di era Nabi dan Khalifah Kedua. Sehingga unggapan yang sering
dilontarkan kalangan Syi’ah dalam masalah ini adalah: ”Manakah yang harus kita
pegang: taqrir Nabi yang membiarkan shahabatnya melakukan mut’ah atau
hadis larangan Umar?”
Kaum Syi’ah
yang mengikuti ajaran-ajaran para Imam dari Ahlu al-Bait masih menganggap nikah
mut’ah tetap berlaku menurut syari’att sebagaimana halnya masa hidup Nabi itu
sendiri. Thabathaba’I dalam masalah ini mengutip beberapa ayat tentang
suami-isteri:
Q.S.
al-Mu’minun, 23: 5-7
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(5)إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ(6)فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ(7)
Q.S.
al-Ma’arij, 70: 29-31
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(29)إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ(30)فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ(31)
Menurut
ath-Thabathaba’i, ayat-ayat ini diturunkan di Mekah, dan semenjak diturunkan
hingga hijrah, nikah mut’ah dipraktikkan oleh kaum Muslimin. Apabila nikah
mut’ah itu bukan merupakan pernikahan yang sebenarnya (halal/sah), dan para
perempuan yang telah menikah berdasarkan itu bukan isteri-isteri yang sah
menurut syari’ah, maka, lanjut Thabathaba’i, ayat-ayat al-Quran tersebut tentulah
akan menganggap para perempuan itu sebagai pelanggar hukum dan sudah pasti
mereka dilarang untuk mempraktikkan mut’ah. Sehingga Thabathaba’i menegaskan
kembali bahwa nikah mut’ah merupakan pernikahan yang sah menurut syari’ah dan
bukan bentuk perzinaan.
Sampai hari
ini, kaum Syi’ah, khususnya di Iran, masih tetap memelihara legitimasi
pernikahan mut’ah. Akan tetapi selama rezim Pahlevi (1925-1979), walaupun bukan
ilegal, pernikahan mut’ah dipandang secara negatif. Kebanyakan kaum terpelajar
Iran dan kelas menengah lainnya menganggap pernikahan seperti ini sebagai
bentuk pelecehan terhadap perempuan dan nilai moral universal, sehingga mereka
tidak tertarik untuk melakukannya. Sebaliknya, pernikahan mut’ah di Iran banyak
dilakukan oleh kaum perkotaan pinggiran, dan populer terutama di sekitar
pusat-pusat ziarah.
b) Pandangan Kaum Sunni
Seperti
telah dinyatakan di muka, pandangan kaum Sunni terhadap nikah mut’ah sangat
jelas, yakni haram. Alasan keharamannya adalah karena pernikahan model seperti
ini tidak sesuai dengan tujuan pernikahan yang dinyatakan dalam al-Quran.
Disamping itu, pernikahan mut’ah juga bertentangan dengan ketentuan dalam
pernikahan yang telah dinyatakan dalanm al-Quran dan al-Hadis, yaitu dalam
masalah thalaq, iddah dan warisan.
Diantara ayat-ayat
al-Quran yang menjadi dasar tujuan pernikahan diantaranya adalah:
Q.S.
Adz-Dzariyat, 51: 49
وَمِنْ كُلِّ
شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Q.S.
An-Nisa’, 4: 1
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً
Q.S. Ar-Rum,
30: 21
وَمِنْ
ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ
لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Hadis-hadis
yang diperguakan oleh kaum Sunni untuk mengharamkan nikah mut’ah diantaranya
adalah sebagai berikut:
1-
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ
الْجُهَنِيُّ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ
كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ
حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ
مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ
شَيْئًا و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ
سُلَيْمَانَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ قَالَ
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا بَيْنَ
الرُّكْنِ وَالْبَابِ وَهُوَ يَقُولُ بِمِثْلِ حَدِيثِ ابْنِ نُمَيْرٍ[6]
2-
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ
سُلَيْمَانَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ
عَنْ أَبِيهِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ
الْعُزْبَةَ قَدِ اشْتَدَّتْ عَلَيْنَا قَالَ فَاسْتَمْتِعُوا مِنْ هَذِهِ
النِّسَاءِ فَأَتَيْنَاهُنَّ فَأَبَيْنَ أَنْ يَنْكِحْنَنَا إِلَّا أَنْ نَجْعَلَ
بَيْنَنَا وَبَيْنَهُنَّ أَجَلًا فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اجْعَلُوا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُنَّ أَجَلًا
فَخَرَجْتُ أَنَا وَابْنُ عَمٍّ لِي مَعَهُ بُرْدٌ وَمَعِي بُرْدٌ وَبُرْدُهُ
أَجْوَدُ مِنْ بُرْدِي وَأَنَا أَشَبُّ مِنْهُ فَأَتَيْنَا عَلَى امْرَأَةٍ
فَقَالَتْ بُرْدٌ كَبُرْدٍ فَتَزَوَّجْتُهَا فَمَكَثْتُ عِنْدَهَا تِلْكَ
اللَّيْلَةَ ثُمَّ غَدَوْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَائِمٌ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْبَابِ وَهُوَ يَقُولُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي
قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ أَلَا وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ
حَرَّمَهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ
شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيلَهَا وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا[7]
3-
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ قَالَ أَخْبَرَنِي الرَّبِيعُ
بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَيْنَا عُمْرَتَنَا قَالَ لَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَمْتِعُوا مِنْ هَذِهِ
النِّسَاءِ قَالَ وَالِاسْتِمْتَاعُ عِنْدَنَا يَوْمُ التَّزْوِيجِ قَالَ
فَعَرَضْنَا ذَلِكَ عَلَى النِّسَاءِ فَأَبَيْنَ إِلَّا أَنْ يُضْرَبَ بَيْنَنَا
وَبَيْنَهُنَّ أَجَلًا قَالَ فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ افْعَلُوا فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَابْنُ عَمٍّ لِي
وَمَعَهُ بُرْدَةٌ وَمَعِي بُرْدَةٌ وَبُرْدَتُهُ أَجْوَدُ مِنْ بُرْدَتِي وَأَنَا
أَشَبُّ مِنْهُ فَأَتَيْنَا امْرَأَةً فَعَرَضْنَا ذَلِكَ عَلَيْهَا فَأَعْجَبَهَا
شَبَابِي وَأَعْجَبَهَا بُرْدُ ابْنِ عَمِّي فَقَالَتْ بُرْدٌ كَبُرْدٍ قَالَ
فَتَزَوَّجْتُهَا فَكَانَ الْأَجَلُ بَيْنِي وَبَيْنَهَا عَشْرًا قَالَ فَبِتُّ
عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ ثُمَّ أَصْبَحْتُ غَادِيًا إِلَى الْمَسْجِدِ
فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْبَابِ
وَالْحَجَرِ يَخْطُبُ النَّاسَ يَقُولُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ كُنْتُ
أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ هَذِهِ النِّسَاءِ أَلَا وَإِنَّ
اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهَا وَلَا تَأْخُذُوا
مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا[8] *
4- و
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ
مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى يَوْمَ الْفَتْحِ عَنْ
مُتْعَةِ النِّسَاءِ [9] *
5-
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ
أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ و حَدَّثَنَاه عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا جُوَيْرِيَةُ عَنْ مَالِكٍ
بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ سَمِعَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ يَقُولُ
لِفُلَانٍ إِنَّكَ رَجُلٌ تَائِهٌ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ [10]
Hadis-hadis
di atas tidak diragukan lagi nilai keshahihannya. Apalagi yang meriwayatkan
diantanya adalah Bukhari dan Muslim. Walaupun sebenarnya tinjauan sanad saja
tidak cukup untuk menjadikan hadis bisa dinilai otentik sebagai sumber ajaran
Islam. Akan tetapi, dengan dukungan nilai-nilai al-Quran tentang pernikahan
yang maknanya sesuai dengan semangat larangan nikah mut’ah dalam hadis-hadis
tersebut, maka kedudukannya menjadi sangat kokoh dan otentik sebagai sumber
ajaran Islam.
Dilihat dari
perspektif hadis (sebagaimana yang telah dikemukakan di atas), dapat
disimpulkan bahwa nikah mut’ah memang telah diharamkan oleh Rasulullah.
Sebab-sebab pengharamannya telah banyak diulas oleh ulama-ulama Sunni,
diantaranya adalah karena nikah mut’ah semata-mata sebagai tempat untuk
melampiaskan nafsu syahwat, sehingga tidak jauh berbeda dengan zina (komunisme
seksual).
Disamping
itu, nikah mut’ah menurut kalangan Sunni, telah menempatkan perempuan pada
titik bahaya, karena ibarat sebuah benda yang bisa pindah dari satu tangan ke
tangan yang lain. Pernikahan jenis ini juga dinilai merugikan anak-anak, karena
mereka tidak mendapatkan kasih sayang sempurna sebuah keluarga dan jaminan
kesejahteraan serta pendidikan yang baik.
Pernikahan,
seperti yang telah menjadi cita-cita Islam, haruslah bertumpu pada pondasi yang
stabil, suatu pasangan, ketika mula-mula dipersatukan oleh sebuah ikatan
pernikahan, harus memandang diri meraka terpaut satu sama lain untuk selamanya,
dan gagasan perceraian tidak boleh memasuki pikiran mereka. Oleh karena itu,
sebagaimana pendapat kalangan Sunni, pernikahan mut’ah tidak dapat menjadi
tumpuan kebersamaan hidup suami isteri yang damai dan sejahtera.
6.
Tinjauan
Historis-Sosiologis
Sebagaimana
terdapat dalam sumber-sumber Syi’ah, nikah mut’ah merupakan suatu fakta sejarah
yang tidak dapat dipungkiri, bahwa pernikahan jenis ini dipraktikkan oleh para
shahabat sejak era permulaan Islam, yaitu sejak wahyu pertama dan hijrah Nabi
ke Madinah. Seperti dalam peristiwa Zubair Ash-Shahabi yang menikahi Asma’,
putri Abu Bakar dalam suatu pernikahan sementara (mut’ah).
Masih
menurut sumber Syi’ah, nikah mut’ah juga dipraktikkan semenjak hijrah hingga
wafatnya Nabi. Bahkan setelah peristiwa itu, selama pemerintahan Khalifah
Pertama dan sebagian dari masa pemerintahan Khalifah Kedua, kaum muslimin
meneruskan praktik itu sampai saat dilarang oleh Umar Ibn Khattab sebagai
Khalifah Kedua.
Tentu saja
historisitas seperti ini ditolak oleh kalangan Sunni yang menganggap Nabi sudah
melarang nikah mut’ah sejak Perang Khaibar dan peristiwa Fathul Makkah, seperti
tertuang dalam hadis yang telah dikemukakan di muka. Mengapa kaum Syi’ah
mengabaikan hadis-hadis seperti ini? Jawabannya adalah, karena kaum Syi’ah
mempunyi argumen tersendiri mengenai jalur-jalur sanad dalam sebuah periwayatan
Hadis. Kaum Syi’ah hanya bisa menerima jalur sanad yang melalui Ahlu al-Bait,
dan jika terdapat hadis yang bertentangan dengan riwayat Ahlu al-Bait,
maka hadis tersebut ditolak.
Mengenai
larangan Umar terhadap praktik nikah mut’ah, menarik untuk dicermati bahwa
larangan ini juga diakui ada dalam beberapa kitab fiqih kaum Sunni. Analisis
yang bisa dikemukakan di sini adalah, apakah laranga itu terkait dengan
kewenangan Umar sebagai pemimpin agama atau ini hanya sekedar strategi dakwah
Islam (kebijakan politik). Jika dipahami ini sebagai kebijakan politik yang
terkait dengan dakwah Islam, maka akan ditemukan relevansinya dengan persoalan
umat saat itu. Pada era Umar, umat Islam (para shahabat) banyak yang bertebaran
di wilayah-wilayah taklukan dan mereka bercampur baur dengan masyarakat yang
baru saja memeluk Islam. Jika para shahabat itu diberi kebebasan untuk
melakukan nikah mut’ah, maka yang dikhawatirkan adalah akan muncul
generasi-generasi baru Islam hasil pernikahan mut’ah yang tidak jelas warna
keislamannya. Dengan alasan inilah, maka Umar melarang nikah mut’ah. Sehingga
dapat dipahami, larangan ini bukan larangan mermanen, tetapi hanya sementara
waktu karena terkait dengan persoalan keummatan saat itu.
Sepintas,
nikah mut’ah adalah implementasi paling kasat mata bagaimana kedudukan
perempuan tidak begitu dihargai. Berbeda dengan nikah permanen yang diasumsikan
telah menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Menurut Ustadz Ahmad
Baraghah, nikah mut’ah justeru meningkatkan derajat kaum perempuan. Alasannya,
dalam mut’ah perempuan dimungkinkan membuat persyaratan tertentu yang harus
disetujui oleh pihak laki-laki. Dengan kewenangan ini, masih menurut Baraghah,
perempuan dapat meningkatkan bergainning position-nya bila akan
melaksanakan nikah mut’ah. Secara sosiologis, nikah mut’ah menjadi bukan
persoalan serius ketika dipraktikkan dalam kondisi masyarakat Muslim yang sudah
mempunyai tingkat kesejahteraan yang memadai dan pendidikan yang maju. Anggota
masyarakat Muslim ini mempunyi otonomi pribadi atau kewenangan individual yang
penuh dalam menentukan nasibnya.
Dalam
tradisi Persia atau Iran sekarang, nikah mut’ah bukanlah sumber penyakit sosial
seperti yang disumsikan oleh kalangan Sunni. Para perempuan Iran khususnya,
mempunyai nilai tawar yang tinggi sebelum melakukan nikah mut’ah, sehingga
dalam praktiknya mereka jarang yang melakukan pernikahan model ini. Tetapi,
kondisinya adalah jauh berbeda jika nikah mut’ah dilegalisasi di dalam
komunitas masyarakat Muslim yang tingkat kesejahteraan dan pendikannya masih
rendah, seperti di Indonesia misalnya. Nikah mut’ah dalam komunitas masyarakat
Muslim yang rata-rata miskin dan bodoh, hanya menjadi komoditas pemuas nafsu
laki-laki berkuasa yang pada akhirnya akan mengakibatkan kesengsaraan berlipat
bagi perempuan dan anak-anak. Dan tentu saja nikah seperti itu akan jauh dari
tujuan pernikahan itu sendiri.
7.
Ditinjau dari Sudut Pandang Sosial dan Budaya
Dari sudut
sosial-budaya, praktik kawin kontrak merusak sistem sosial-budaya luhur yang
dianut oleh Bangsa Indonesia. Apalagi jika hal itu dilakukan dengan embel-embel
pemahaman keagamaan. Hal demikian, tentu mencoreng citra agama secara umum yang
seharusnya menjaga nilai-nilai moral. Sedangkan dikaitkan dengan person,
martabat kemanusiaan seolah tergadaikan demi nafsu syahwat dan uang berlimpah.
Lebih parah lagi, perempuan sebagai manusia yang juga memiliki kehormatan diri
dikorbankan, bahkan korban yang paling dikorbankan. Belum lagi nasib anak-anak
hasil kawin kontrak ini akan dikemanakan? Siapa yang akan mengurus mereka dalam
meraih masa depannya? Bagaimana biaya pendidikan dan kesehatan anak-anak ini?
Padahal sebagai anak, mereka tidak punya saham sedikitpun dalam praktik kawin
kontrak, juga tidak mendapatkan "bagi hasil" apapun darinya. Justru
"saham" yang ditanam "bapak biologis"-nya itu yang kemudian
tumbuh menjadi "anak".
Jelaslah,
berbagai kerugian, baik moril dan materiil yang diderita sangatlah besar dan
menimpa banyak pihak. Sekali lagi, martabat perempuan sebagai manusia, bahkan
seluruh perempuan, dan anak-anak dilecehkan dan dijadikan kelinci percobaan.
Nilai kemanusiaan telah direndahkan, digadaikan, dan dieksploitasi oleh
kepentingan "bisnis syahwat" dalam bentuk kawin kontrak atau nikah
mut’ah. Karenanya, kawin kontrak atau nikah mut’ah layak juga disebut
perbudakan model baru
8.
Ditinjau dari Sudut Pandang Ekonomi
Perkawinan
secara kontrak, apapun alasannya itu akan sangat merugikan. Kerugian yang
dimaksud di sini adalah kerugian secara fisik dari kedua belah pihak (apabila
satu atau keduanya masih dalam status “asli” (perawan/jejaka)). Dalam hal
kerugian yang diterima adalah bahwa setelah berakhirnya kontrak, secara fisik
akan terdapat sesuatu yang hilang berupa hilangnya keperjakaan ataupun
kegadisan melalui cara yang tidak sah. Selain itu juga akan timbul akibat
mental bagi pihak yang setelah berakhirnya kontrak, pihak yang lain pergi tanpa
memberikan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh seorang suami/istri dalam
perkawinan yang sah.
Jika
berkenaan dengan masalah keturunan, meskipun seorang perempuan dikawini dalam
ikatan kontrak namun jika Tuhan menghendaki terjadinya kehamilan pada perempuan
tersebut, maka segala kewajiban terhadap anak yang dikandungnya harus
dipikulnya sendiri. Dan bagi si anak jika lahir dalam keadaan hidup dia tidak
akan mmperoleh hak-hak dan status hukum yang layak karena berdasarkan pasal 42
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa “anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.“
Kawin
kontrak adalah perkawinan yang secara agama dan hukum tidak sah, sehingga
secara otomatis status kelahirannya juga tidak sah.Adapun menyangkut masalah
pewarisan, secara perdata berdasarkan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dia hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya. Selain itu sanksi sosial juga mengancam para pelaku. Pada
umumnya apabila masyarakat mengetahui terjadinya perkawinan kontrak, maka si
pelaku dengan sendirinya akan mendapatkan sanksi social berupa pengucilan,
cemoohan, dan lain-lain yang tentunya hal tersebut akan dapat menghambat proses
interaksi antara pelaku (tidak menutup kemungkinan juga terhadap anak yang
lahir) dengan masyarakat sekitarnya. Sedangkan akibat yang lainnya yaitu
apabila yang melakukan kawin kontrak salah satunya adalah warga Negara asing,
maka ia akan dijerat dengan peraturan keimigrasian yang kemungkinn besar
sanksinya adalah pendeportasian.
9.
Fakta kawin kontrak di Indonesia
Majalah
Gatra, No. 39, 10 Agustus 2006 mengangkat laporan tentang petualangan para
pelaku kawin kontrak di kawasan Bogor dan sekitarnya. Penggalan cerita di bawah
ini diharapkan dapat menggambarkan realitas kawin kontrak di beberapa lokasi di
Indonesia. Berikut beberapa petikannya.
Sebut saja L
(23 tahun), bukan nama sebenarnya, asal Sukabumi, Jawa Barat yang menikah
dengan I (55 tahun) asal negeri kaya minyak dengan mahar Rp 2 juta dalam waktu
2 hari. Bertempat di sebuah villa di kawasan Puncak, Bogor, ritual pernikahan
yang terjadi setahun lalu itu hanya berlangsung tak lebih dari 15 menit. Namun,
itu dianggap sudah cukup untuk meng-"halal"-kan hubungan L dan
I sebagai suami-istri.
Selesai ijab
kabul, I langsung memboyong L ke penginapannya di sebuah villa di Jalan Puncak
Raya, Cisarua, Bogor. L, sesuai kontrak sebelum pernikahan, hanya menjadi
"istri" I selama dua hari saja. Setelah itu, status L
"bebas" lagi. Ia bisa kembali mencari "suami" baru yang
ingin menikahinya dalam waktu dan maskawin tertentu.
L menekuni
profesi sebagai "pekerja nikah mut'ah" sejak empat tahun lalu. Pada
2003, sete-lah berpisah dari suami pertamanya asal Sukabumi, L memutuskan
menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Riyadh, Arab Saudi. Di sana ia menikah
dengan orang Arab Saudi bernama F (40 tahun).
Merasa
kurang cocok dengan F, L akhirnya pulang ke Indonesia pada 2004. Setelah itu,
ia berkali-kali menikah mut'ah dengan orang-orang asal Timur Tengah di
Indonesia. Dari U (38 tahun), A (35 tahun), H (40 tahun), hingga I (55 tahun)
yang sudah disebut. Kini, entah mengapa, L kembali lagi ke pangkuan F sebagai
pembantu rumah tangga sekaligus istrinya secara kontrak. "Rasa cemburu
antara saya dan istri F jelas ada. Walau demikian, saya menikmatinya kok,"
tutur L. "Ya, namanya juga cari duit. Beginilah nasib saya," ucapnya,
pasrah.
Pengalaman
hampir sama dirasakan M. Perempuan 30 tahun asal Cilacap, Jawa Tengah ini
pertama kali menikah dengan A (45 tahun) pada 2004. Dari A, M menerima mahar
sebesar Rp 3 juta dan nafkah bulanan juga Rp 3 juta. Sebenarnya M ingin hidup
selamanya dengan A. Namun, karena A memintanya pindah ke negeri asal, M
menolak. Perjalanan rumah tangga A dan M pun berakhir setelah tujuh bulan.
Karena susah
mencari pekerjaan, apalagi dengan tiga anak dari dua suami pribumi sebelum A, M
terjun ke dunia kawin kontrak lagi. Dua tahun terakhir, M sudah menikah mut'ah
lebih dari tujuh kali. Persisnya, ia bahkan mengaku lupa. Yang aneh dari M,
meski sudah nikah mut'ah dengan A, ia juga menikah mut'ah dengan pria lainnya.
Caranya, ketika A pulang ke negerinya, ia mencari sampingan dengan menikah
mut'ah lagi dengan orang lain yang negerinya sama.
Proses
menuju pernikahan kontrak di Cisarua tidaklah rumit. Bisa menempuh tiga jalur:
langsung berhubungan dengan mempelai perempuan, mucikari, atau melalui calo
yang diteruskan ke mucikari. Kesepakatan biasanya terjadi setelah kedua calon
pengantin bertemu membicarakan soal nominal maskawin dan batasan waktu hidup
bersama.
Oleh karena
itu, selama permasalahan ekonomi di negeri tercinta ini belum terselesaikan dan
masalah orang miskin belum mempunyai jalan keluar yang layak maka permasalahan
mengenai nikah mut’ah atau kawin kontrak ini un tidak akan pernah
terselesaikan. Karena, sebagian besar alasan dari melakukan nikah mut’ah ini
adalah permasalahan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup jadi peningkatan
taraf hiduplah satu-satunya solusi untuk mengurangi terjadinya nikah mut’ah di
negeri ini.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan
di atas yang telah saya uraikan di atas, maka saya menarik kesimpulan sebagai
berikut:
Latar belakang yang mendorong wanita melakukan kawin
kontrak adalah:
a. Ekonomi
b. Agama
c. Sosial
d. Budaya
Sedangkan tujuan wanita melakukan kawin kontrak adalah:
a. Ekonomi
b. Biologis
Proses pelaksanaan kawin
kontrak diproses dengan hukum agama Islam karena lebih
mudah dan cepat. Secara formal proses perkawinan dilakukan sesuai dengan hukum
Islam namun dalam membangun rumah tangga tidak menjiwai perkawinan sebagaimana
diatur dalam Islam tetapi lebih disesuaikan dengan perjanjian yang sudah
dibuat. Dampak dari pelaksanaan kawin kontrak adalah munculnya potensi konflik
yang sangat besar antara suami istri kaitannya dengan keturunan, maupun harta
kekayaan masing-masing pihak, sehingga tujuan perkawinan menurut UU No. 1 tahun
1974 dan hukum Islam yaitu membentuk rumah tangga yang kekal, bahagia, dan
sejahtera lahir maupun batin tidak akan tercapai.
B. SARAN
Menilai dari hasil kesimpulan diatas penulis
memberikan saran:
1.
Bagi para Kyai agar membuat kesepakatan bersama dan berani menolak melangsungkan
perkawinan sirri karena perkawinan yang demikian tidak tercatat dan dapat
dijadikan ajang kawin kontrak, serta menyarankan agar calon pengantin
melaksanakan perkawinan sesuai dengan ketentuan UU No.1 tahun 1974, namun
apabila terpaksa melakukan kawin sirri hendaknya menanyakan apakah ada
perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan hukum Islam.
2.
Agar diadakan penyuluhan tentang masalah perkawinan dengan meminta bantuan
para tokoh agama atau tokoh masyarakat melalui kelompok pengajian atau
perkumpulan.
3.
Peran orang tua sangat penting bagi kehidupan anak-anaknya dalam pendidikan
dan menanamkan pendidikan agama dengan baik sejak kecil, serta melakukan
pengawasan terhadap perilaku anak sehari-hari.
4.
Untuk para wanita yang belum menikah perlu lebih memahami tentang perkawinan,
dan kelak bila melangsungkan perkawinan agar dilaksanakan sesuai dengan UU No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau
dari UU Perkawinan No.1 Tahun 1974. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Abdul Aziz Dahlan. 2003. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta:
PT Ichtiar Van Hoeve.
Ramulyo,
Mohd. Idris. 2002. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta:Bumi Aksara.
Fakhriah, Efa Laela. Kawin Kontrak
Tidak Sesuai Aturan Agama Maupun Negara.
Bagi sobat yang mau mendownloadnya silahkan tekan Download Sign berikut
Bagi sobat yang mau mendownloadnya silahkan tekan Download Sign berikut
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Karya Tulis
dengan judul "SKRIPSI : KAWIN KONTRAK". Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://alexbarokah.blogspot.com/2014/04/kawin-kontrak.html.
1 komentar
Terima kasih atas penjelasan tentang kawin kontrak yang lengkap dan mudah dipahami ini... Salam kenal
Posting Komentar