Kamis, 17 April 2014

SKRIPSI : KAWIN KONTRAK

Salam alaika ........!!!
 Gimana khabranya hari ini??? ok ok aja...let's enjoy..

Kali ini aq akan berbagi lagi salah satu contoh skripsi STIH  Prodi Perbandingan Madhab dan Hukum (PMH) yang mengupas tuntas permasalahan Kawin Kontrak  yang akhir-akhir sering dipraktekkan oleh orang-orang tertentu.Bagaimana Islam menjawab masalah ini? please ikuti dan simak baik-baik ok..


ini dia contoh skripsinya..

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul “Realita Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak)” yang di susun berdasarkan data-data yang di peroleh dari berbagai sumber informasi.
Karya Tulis ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Pendidikan Agama Islam II. Penulis sangat berterima kasih kepada Bapak Abdullah selaku dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah membiimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih banyak terhadap teman-teman sekalian yang telah membantu banyak dalam penusunan tugas ini.
Walaupun makalah ini telah selesai, namun penulis menyadari bahwa penulis bukanlah manusia sempurna sehingga penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih sangat banyak memiliki kesalahan dan kekurangan-kekurangan sehingga makalah ini sangatlah jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, penulis sangatlah berharap mendapat masukan-masukan mengenai makalah ini agar kedepannya penulis dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang ada pada makalah ini di makalah selanjutnya.
Penulis berharap semoga karya tulis  ini dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan para pembaca pada umumnya. Dan penulis berharap bahwa makalah ini juga bisa menjadi salah satu sumber informasi bagi para pembaca yang sedang mengkaji masalah yang sama dengan makalah ini



Penulis.


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i
DAFTAR ISI ...............................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang................................................................................................... 1
  2. Perumusan Masalah........................................................................................... 2
  3. Kegunaan Penulisan Karya Tulis ........................................................................ 2
  4. D.Tujuan Penulisan Karya Tulis......................................................................... 2
  5. Metodologi........................................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN
A. TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN
1.      Makna Perkawinan Bagi Manusia..................................................................... 4
2.      Tujuan Perkawinan............................................................................................ 8
3.      Syarat-syarat Sahnya Perkawinan..................................................................... 8

B. TINJAUAN TENTANG NIKAH MUT’AH
1.      Definisi nikah mut’ah........................................................................................ 9
2.      Tarikh nikah mut’ah........................................................................................ 10
3.      Menurut UU No.1 Tahun 1974....................................................................... 11
4.      Menurut Hukum Agama Islam........................................................................ 14
5.      Menurut Pandangan Kaum Sunni dan Syiah..................................................,,. 17
6.      Tinjauan Historis dan Sosiologogis ...........................................................,,..... 21
7.      Menurut Sosial & Budaya .............................................................................. 23
8.      Menurut Ekonomi ........................................................................................... 24
9.      Fakta Nikah Mut’ah di Indonesia ................................................................... 25

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 27
B. Saran ............................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 29


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Sudah menjadi kodrat alam, sejak dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani.
Pada umumnya, pada suatu masa tertentu bagi seorang pria maupun seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lain, yang berlainan jenis kelaminnya. Hidup bersama antara seorang pria dan wanita tersebut tidak selalu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan biologis kedua manusia tersebut saja, tetapi pada umumnya dapat dikatakan, menyalurkan kebutuhan biologis merupakan faktor pendorong yang penting untuk hidup bersama tadi, baik dengan keinginan mendapat anak keturunannya sendiri, maupun hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka.
Hidup bersama antara seorang pria dan wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur tentang hidup bersama tersebut.Dengan demikian sejak dulu kala hubungan pria dan wanita dalam perkawinan telah dikenal, walaupun dalam sistem yang beraneka ragam, mulai dari yang bersifat sederhana sampai kepada masyarakat yang berbudaya tinggi, baik yang pengaturannya melalui lembaga-lembaga masyarakat adat maupun denganperaturan perundangan yang dibentuk melalui lembaga kenegaraan serta ketentuan-ketentuan yang digariskan agama.
Manusia adalah mahluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan oleh Allah dibandingkan dengan mahluk-mahluk lainnya. Allah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya atau seperti tumbuh-tumbuhan yang kawin dengan perantara angin. Allah telah memberikan batas dengan peraturan-peraturannya,yaitu dengan syare’at yang terdapat dalam Kitab-Nya dan Hadist Rasul-Nya dengan hukum-hukum perkawinan. Namun kenyataannya dalam perkembangan masyarakat sekarang ini ada yang menyalahgunakan perkawinan dengan melakukan nikah mut’ah seperti yang terjadi kota tertentu seperti bogor . Istilah nikah mut’ah menggambarkan suatu perkawinan yang dilakukan berdasarkan kontrak yang berisi perjanjian untuk hidup bersama sebagai suami istri dalam jangka waktu tertentu dengan adanya imbalan. Pelaksanaan nikah mut’ah sangat bertentangan dengan UU No.1 Tahun
1974 tentang perkawinan, walaupun nikah mut’ah tidak diatur secara khusus karena nikah mut’ah merupakan fenomena baru dalam masyarakat. Tujuan dari nikah mut’ah adalah untuk menyalurkan nafsu birahi tanpa adanya keinginan untuk hidup bersama dan membentuk rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bahkan terkadang juga tidak mengharapkan adanya keturunan, hal ini tentu saja bertentangan dengan tujuan perkawinan.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.    Apa yang melatar belakangi dan menjadi tujuan wanita bersedia melakukan nikah mut’ah?
2.    Dimanakah biasanya nikah mut’ah banyak/sering dilakukan?
3.    Bagaimana nikah mut’ah dilihat dari perspektif islam dan dari perspektif budaya norma Indonesia?
4.    Wanita yang seperti apakah yang biasanya melakukan nikah mut’ah?
5.    Mengapa nikah mut’ah diharamkan?

C.    KEGUNAAN
a.       Bagi penulis pembahasan ini merupakan wahana latihan pengembangan ilmu pengetahuan dan ketrampilan.
b.      Dengan pembahasan  ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum perdata pada umumnya dan hukum perkawinan pada khususnya.

D.    TUJUAN
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang dan tujuan wanita melakukan kawin kontrak atau nikah mut’ah.
2. Untuk mengetahui proses pelaksanaan kawin kontrak (nikah mut’ah)



E.     METODOLOGI
Kegiatan penulisan karya tulis ini dilakukan dengan menggunakan metode tinjauan pustaka. Penulisan ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data atau informasi-informasi terkait melalui buku, jurnal, dan tulisan-tulisan di website.

  


BAB II
PEMBAHASAN

A.    TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN

1.  Makna Perkawinan Bagi Manusia
Aristoteles, seorang filsuf Yunani, yang terkemuka, pernah berkata bahwa manusia adalah zoon politicon, yaitu selalu mencari manusia lainnya untuk hidup bersama dan kemudian berorganisasi. Hidup bersama merupakan suatu gejala yang biasa bagi seorang manusia, dan hanya manusia-manusia yang memiliki kelainan-kelainan sajalah yang mampu hidup mengasingkan diri dari orang-orang lainnya dalam bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya keluarga. Keluarga-keluarga tersebut akan terbentuk dengan adanya perkawinan, antara menusia yang berlainan jenis.
Perkawinan memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat. Perkawinan merupakan suatu kegiatan yang pokok dan utama untuk mengatur kehidupan rumah tangga. Selanjutnya diharapkan adanya keturunan yang merupakan susunan masyarakat kecil dan nantinya akan menjadi anggota masyarakat yang luas. Dengan adanya keturunan yang diperoleh melalui perkawinan, manusia dapat memlihara kelestarian jenisnya sehingga manusia keberadaannya tidak akan punah dari dunia ini. Perkawinan diharapkan juga akan memberikan kebahagiaan baik lahir maupun batin bagi manusia.
a.  Makna Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
Menurut ketentuan pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang. Hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemaunan bersama yang sungguhsungguh yang mengikat kedua pihak saja. Suami istri ialah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan lahir batin berarti tidak ada fungsi sebagai suami istri. Dalam rumusan UU No.1 Tahun 1974, mengandung harapan bahwa dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh kebahagiaan, baik materiil maupun spirituil. Kebahagiaan yang ingin dicapai bukanlah kebahagiaan yang sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan yang kekal, karenanya perkawinan yang diharapkan juga adalah perkawinan yang kekal yang dapat berakhir dengan kematian.
Makna perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974, adalah perkawinan dapat memenuhi kebutuhan lahiriah sebagai manusia, sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya, yang sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Dari perkawinan tersebut, diharapkan akan lahir keturunan, sehingga manusia dapat melestarikan jenisnya.
b.  Makna Perkawinan Menurut Hukum Agama Islam
Pengertian perkawinan menurut hukum islam ialah, suatu akad atau perikatan guna mengesahkan (menghalalkan) hubungan seksual (kelamin) antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan jalan yang diridhoi Allah SWT.
Menurut hukum islam, nikah adalah akad yang mengandung kebolehan untuk bersetubuh dengan lafadz atau terjemahan dari katakata tersebut. Jadi maksud pengertian tersebut adalah apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat untuk membentuk suatu rumah tangga, maka hendaknya keduanya melakukan akad nikah lebih dahulu.
Kata kawin menurut istilah hukum islam sama dengan kata nikah atau zawaj. Yang dinamakan menikah menurut syara’ ialah akad (ijab qabul) antara wali calon istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Perkawinan dalam bahasa arab ialah nikah. Menurut Syara’, hakikat nikah itu ialah aqad antara calon istri dan calon suami untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri. nikah adalah perjanjian dan ikatan lahir batin antara laki-laki dengan seorang perempuan yang dimaksudkan, untuk bersama serumah tangga dan untuk berketurunan, serta harus dilangsungkan memenuhi rukun dan syarat-syaratnya menurut Islam dan negara.
Dari pengertian perkawinan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan menurut hukum islam adalah suatu akad (perjanjian) yang suci untuk hidup sebagai suami istri yang sah, membentuk keluarga bahagia dan kekal, yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1). Ikatan yang suci antara seorang pria dan seorang wanita.
2). Membentuk keluarga bahagia dan sejahtera (makruf, sakinah, mawaddah dan rahmah).
3). Kebahagiaan yang kekal dan abadi penuh kesempurnaan baik moral maupun spiritual.
Perkawinan adalah sunatullah, Allah SWT sangat menganjurkan perkawinan, karena perkawinan memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan melaksanakan perkawinan manusia diharapkan dapat memenuhi kebutuhan baik lahiriah maupun batiniah, dan memperoleh kebahagiaan dari perkawinan tersebut. Makna penting perkawinan bagi manusia diantaranya adalah:
1). Memelihara kelestarian jenis manusia Termasuk kebenaran yang tidak dapat dibantah adalah bahwasanya perkawinan merupakan jalan untuk memperbanyak keturunan manusia dan perbuatan yang pokok dalam usaha pelestarian dan kekelannya. Karena Allah SWT telah mewariskan bumi dan segala isinya kepada manusia Sebagai salah satu mahluk hidup di dunia ini, manusia harus bereproduksi untuk melestarikan jenisnya. Namun cara-cara bereproduksi manusia sangat berbeda dengan mahluk-mahluk lainnya. Manusia adalah mahluk yang paling dimuliakan Allah SWT, karena memiliki akal, sehingga membedakannya dengan mahluk lain.
Manusia bereproduksi melalui lembaga yang disebut perkawinan. Dari perkawinan ini diharapkan akan lahir keturunan-keturunan, sehingga jenis manusia tidak akan punah dan dapat terus mengelola bumi dan seluruh isinya yang telah diwariskan Allah SWT.
2). Menjaga jalur keluarga (nasab) Dengan perkawinan yang disyari’atkan oleh Allah SWT, seorang anak akan jelas garis keturunannya/nasab. Karena nasab adalah kehormatan mereka yang sejati, kemuliaan kemanusiaan. Jika tidak ada perkawinan maka masyarakat akan dipenuhi oleh manusia-manusia tanpa kemuliaan dan garis keturunan yang jelas. Keadaan ini merupakan penyebab kerusakan akhlak, dan menyebarkan kerusakan, dekadensi dan kehidupan serba boleh.
3). Menyelamatkan masyarakat dari dekadensi moral Dengan melaksanakan perkawinan seseorang telah menyelamatkan masyarakat dari dekadensi (kerusakan) moral serta mengamankan pribadi dari kerusakan masyarakat. Karena hasrat untuk menyukai lawan jenis telah terpuaskan dengan perkawinan yang sesuai syari’at dan jalan yang halal. Hasrat untuk menyukai lawan jenis pada manusia haruslah disalurkan dengan jalan yang halal yaitu melalui perkawinan. Perkawinan akan menyelamatkan masyarakat dari penyakit menular dan membahayakan yang tersebar akibat perilaku seks bebas, zina dan perbuatan-perbuatan keji lainnya, seperti AIDS, penggunaan miras dan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiftif).
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang
Dasar dan Tujuan Pernikahan Menurut Agama Islam :
Dasar Hukum Agama Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 24-An Nuur : 32)
 وَ أَنْكِحُوا الْأَيامى‏ مِنْكُمْ وَ الصَّالِحينَ مِنْ عِبادِكُمْ وَ إِمائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَراءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَ اللهُ واسِعٌ عَليمٌ
(32) Dan kawinlah laki-laki dan perempuan yang janda di antara kamu, dan budak-budak laki-laki dan perempuan yang patut buat berkawin. Walaupun mereka miskin, namun Allah akan me­mampukan dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan kehendak hambaNya).
Tujuan Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 30-An Ruum : 21)
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].

Perkawinan adalah sunatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan tidak hanya dilakukan oleh manusia, tetapi hewan bahkan juga tumbuhan. Seperti
firman Allah dalam Al Qur’an yaitu:

Surat Yasin ayat 36
يَعْلَمُونَ لا وَمِمَّا أَنْفُسِهِمْ وَمِنْ الأرْضُ تُنْبِتُ مِمَّا هَاكُلَّالأزْوَاجَ خَلَقَ الَّذِي سُبْحَانَ
 “Maha suci Allah yang telah menjadikan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan di bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”

            Surat Adz Dzariyat ayat 49
 تَذَكَّرُونَ لَعَلَّكُمْ زَوْجَيْنِ خَلَقْنَا شَيْءٍ كُلِّ وَمِنْ
 “Dan dari segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.”
2.  Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan ialah : perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.
Maksud dan tujuan perkawinan dalam Islam adalah sebagai berikut:
1.      Mentaati perintah Allah SWT, dan mengikuti jejak para nabi dan rasul, terutama meneladani sunah Rasulullah Muhammad SAW, karena hidup beristri, berumah tangga dan berkeluarga adalah termasuk sunah beliau.
2.      Memelihara pandangan mata, menentramkan jiwa, memelihara nafsu seksual, menenangkan pikiran, membina kasih sayang serta menjaga kehormatan dan memelihara kepribadian.
3.      Melaksanakan pembangunan materiil dan spiritual dalam kehidupan keluargadan rumah tangga sebagai sarana terwujudnya keluarga sejahtera dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa.
4.      Memelihara dan membina kualitas dan kuantitas keturunan untuk mewujudkan kelestarian kehidupan keluarga disepanjang masa dalam rangka pembinaan mental spiritual dan fisik matriil dan yang diridhoi Allah SWT.
5.       Mempererat dan memperkokoh tali keluarga dan antara keluarga suami dan keluarga istri sebagai sarana terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman dan sejahtera lahir dan batin dibawah naungan rahmat Allah SWT.

3.  Syarat-syarat Sah nya Perkawinan
Perkawinan yang sah menurut hukum Islam adalah perkawinan yang memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Syarat umum yaitu tidak ada larangan perkawinan
2.      Syarat khusus yaitu adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin wanita. Kedua calon mempelai ini haruslah Islam, akil baligh (dewasa dan berakal), sehat baik rohani maupun jasmani.
3.      Harus ada persetujuan bebas antara kedua calon mempelai
4.      Harus ada wali nikah
5.      Harus ada dua (2) orang saksi
6.      Bayarlah mahar (mas kawin)
7.      Sebagai proses terakhir dan lanjutan dari akad nikah ialah pernyataanpernyataan ijab dan qabul.
B. TINJAUAN TENTANG NIKAH MUT’AH

1.     Definisi Nikah Muth'ah
Nikah secara bahasa artinya berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syari’at secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan).Kata mut’ah dan derivasinya disebutkan sebanyak 71 kali dalam Al-Qur’an, dalam surat yang berbeda-beda, walaupun maknanya bermacam-macam tetapi kembali kepada satu pokok seputar pengambilan manfaat atau keuntungan.
Nikah muth'ah adalah ikatan seeorang laki-laki dengan seseorang perempuan dalam batas waktu tertentu dengan upah tertentu pula. Menurut imam-imam madzhab di dalam kitab mereka, nikah muth'ah adalah pernikahan dengan batasan waktu baik waktunya sudah diketahui atau tidak, kurang lebih lamanya waktu adalah sampai empat puluh lima hari, kemudian nikah itu naik dengan mengganti batas waktu tersebut dengan batasan satu kali haidh atau dua kali haidh pada wanita yang haidh. Dan selama 4 bulan 10 hari pada wanita yang ditinggal mati suaminya, dan hukum nikah tersebut bahwasanya tidak ditetapkan mahar tanpa syarat baginya, dan tidak ditetapkan nafkah baginya, dan tidak ada waris-mewaris, tidak ada I'ddah kecuali meminta lepas menurut yang ia ingat, dan tidak ditetapkan nasab.  Dari definisi tersebut bahwasanya perkawinan yang seperti ini terjadi kontradiksi terhadap arti nikah sesungguhnya. Bahwa nikah itu adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam al-qur'an yaitu ketentraman, kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup manusia. Seperti Firman Allah :
والله جعل لكم من انفسكم ازواجا وجعل لكم من ازواجكم بنين وحفدة (النحل : )
Artinya :
Allah telah menjadikan jodoh bagimu dari jenismu sendiri (laki-laki dan perempuan), dan dari perjodohanmu itu anak-anakmu. (An-nahl : 76)
يايهاالناس اتقوا ربكم الذى خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهارجالا كثيرا ونساء (ألنساء :1 )



Artinya :
Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (An-nisa' : 1)

2.     Tharikh nikah Muth'ah
Nikah muth'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum stabilitasnya syari'at islam, yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan peperangan. Akan tetapi kemudian diharamkan. Rahasia diperbolehkan nikah muth'ah waktu itu adalah karena masyarakat islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka setelah islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipoternkan kemaluannya. Seperti apa yang dikatakatan oleh Ibn Mas'ud :
عن بن مسعود قال : كنا نغزوا مع رسول الله صام وليس معنا نساء فقلنا : ألا نستخصى؟ فنهانا رسول الله صام عن ذالك. ورخص لنا ان ننكح المرأة الثوب إلى أجل.
Artinya :
Dari mas'ud berkata : waktu itu kami sedang perang bersama Rasulullah SAW dan tidak bersama kami wanita, maka kami berkata : bolehkah kami mengkebiri (kemaluan kami). Maka Raulullah SAW melarang kami melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu.
Tetapi rukhshah yang diberikan nabi kepada para shabat hanya selama tiga hari setelah itu Beliau melarangnya, seperti sabdanya :
وعن سلمة بن الأكوع قال : رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أوطاس فى المطعة, ثلاثة أيام, ثم نهى عنها (رواه مسلم )
Artinya :
Dari Salamah bin Akwa' berkata : Rasulullah SAW memberikan keringanan nikah muth'ah pada tahun authas (penaklukan kota Makah) selama 3 hari kemudian beliau melarangnya (HR Muslim)

Dari hadis Salamah ini memberikan keterangan bahwasanya Rasulullah pernah memperbolehkan nikah muth'ah kemudian melarangnya dan menasah rukhshah tersebut. Menurut Nawawi dalam perkataannya bahwasanya pelarangannya dan kebolehannya terjadi dua kali, kebolehannya itu sebelum perang khaibar kemudian diharamkannya dalam perang khaibar kemudian dibolehkan lagi pada tahun penaklukan Makah (tahun Authas), setelah itu nikah muth'ah diharamkan selama-lamanya, sehingga terhapuslah rukhshah itu selama-lamnya. Seperti dalam hadis Rasulullah SAW :
وعن علي رضي الله تعالى عنه قال : نهى رسول الله صام عن المتعة عام خيبر (متفق عليه)
Artinya :
Dari Ali ra. berkata : Rasulullah melarang nikah muth'ah pada tahun Khaibar.
وعن ربيع بن سبورة, عن أبيه رضي الله عنه, أن رسول الله صام قال : إنى كنت أذنت لكم الإستمناع من النساء, وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة (أخرجه مسلم وأبو داود والنساء وأحمد وابن حبان)
Artinya :
Dari Rabi' bin Saburah, dari ayahnya ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : sesungguhnya aku telah memberikan izin kepadamu untuk memintak muth'ah dari wanita, dan sesungguhnya Allah SAW telah mengharamkan itu sampai hari kiamat (HR Muslim, Abu Daud, Nasai', Ahmad, dan Ibn Majah)

3.     Nikah Mut’ah Di Tinjau dari  UU No.1 TAHUN 1974
Perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin diantara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga perkawinan merupakan salah satu tujuan hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, khususnya dalam rangka melanjutkan atau meneruskan keturunan dan diharapkan pula dengan adanya perkawinan mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik lahir maupun batin. Dalam perkembangan masyarakat sekarang ini, munculah istilah nikah mut’ah atau dalam bahasa indonesianya kawin kontrak. Nikah mut’ah atau kawin kontrak tidak diatur dalam UU No.1 tahun 1974, karena nikah mut’ah  merupakan sebuah fenomena baru dalam masyarakat. Nikah mut’ah menggambarkan sebuah perkawinan yang didasarkan pada kontrak atau kesepakatan-kesepakatan tertentu, yang mengatur mengenai jangka waktu perkawinan, imbalan bagi salah satu pihak, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan lain-lain. Tujuan
dari nikah mut’ah adalah untuk menyalurkan nafsu birahi, tanpa disertai adanya keinginan untuk membentuk rumah tangga yang kekal, serta terkadang juga tidak mengharapkan adanya keturunan. Nikah mut’ah merupakan perkawinan yang bersifat sementara, dan sangat menonjolkan nilai ekonomi, menyebabkan perkawinan ini berbeda dengan perkawinan.
Pada umumnya, sehingga nikah mut’ah dianggap menyimpang dari tujuan perkawinan yang mulia. Kawin kontrak(Nikah mut’ah) merupakan perkawinan berdasarkan kontrak yang dalam pelaksanaannya bersifat sementara, dan lebih menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan dengan perkawinan yang dikonsepkan dalam UU No.1 tahun 1974. Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan asas-asas perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Beberapa asas tersebut diantaranya adalah:
a. Tujuan perkawinan
Menurut UU No.1 tahun 1974, setiap perkawinan harus mempunyai tujuan membentuk keluarga/rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang tidak mempunyai tujuan ini, bukan perkawinan dalam arti yang dimaksud dalam UU No.1 tahun 1974 Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan tujuan perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974.
Kawin kontrak hanya bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan biologis tanpa disertai keinginan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, serta sangat mengharapkan keuntungan secara ekonomi dari dilaksanakannya perkawinan, selain itu memiliki keturunan bukan merupakan tujuan utama dalam kawin kontrak.
b. Perkawinan kekal
Menurut UU No.1 tahun 1974, sekali perkawinan dilaksanakan, maka berlangsunglah perkawinan tersebut seumur hidup, tidak boleh diputuskan begitu saja. Perkawinan kekal tidak mengenal batas waktu. Perkawinan yang bersifat sementara sangat bertentangan dengan asas tersebut. Jika dilakukan juga maka perkawinan tersebut batal. Kawin kontrak sangat bertentangan dengan asas ini. Kawin kontrak merupakan perkawinan yang bersifat sementara, karena jangka waktunya dibatasi. Kawin kontrak tidak bersifat kekal, apabila jangka waktunya telah habis maka perkawinan dapat diputuskan.
c. Perjanjian Perkawinan
Mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang akan melangsungkan perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan. Hal ini diatur dalam pasal 29 UU No.1 tahun 1974 yang bunyinya:
Pasal 1, “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Pasal 2, “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.”
Pasal 3, “Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.”
Pasal 4, “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.” Menurut isi ketentuan pasal 29 tersebut, perjanjian
perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1). Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,
2). Dalam bentuk tertulis disahkan oleh pegawai pencatat,
3). Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan,
4). Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
5). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah,
6). Perjanjian dimuat dalam akta perkawinan.
Dalam perjanjian perkawinan tidak termasuk taklik talak. Taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Isi perjanjian perkawinan dapat mengenai segala hal, asal saja tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Akibat hukum adanya perjanjian perkawinan antara suami
dan istri adalah sebagai berikut:
1). Perjanjian mengikat pihak suami dan istri,
2). Perjanjian mengikat pihak ketiga yang berkepentingan,
3). Perjanjian hanya dapat diubah dengan persetujuan kedua pihak suami dan istri, serta disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan. Dalam kawin kontrak juga terdapat perjanjian perkawinan. Namun perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan perjanjian perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Menurut UU No.1 tahun 1974, perjanjian perkawinan diperbolehkan selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Karena isi perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak mengatur tentang jangka waktu/lamanya perkawinan, imbalan yang akan diperoleh salah satu pihak, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan lain-lain. Dari isi perjanjian perkawinan tersebut menyebabkan kawin kontrak menjadi perkawinan yang bersifat sementara karena waktunya dibatasi, dan sangat menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan dengan hukum, agama, dan norma-norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Perkawinan yang sesuai dengan hukum, agama, dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat adalah perkawinan yang bersifat kekal, selama-lamanya, tidak hanya untuk kebahagiaan dunia tetapi juga untuk akhirat. Isi perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan batas-batas agama, hukum dan kesusilaan tidak diperbolehkan, jadi dianggap tidak pernah ada perjanjian perkawinan. Apabila perjanjian perkawinan tetap ada maka perkawinan tersebut batal karena melanggar ketentuan UU No.1 tahun 1974.
Menurut Efa Laela Fakhriah, secara hukum bila pernikahan berdasarkan kontrak dengan maksud mengadakan perjanjian untuk waktu tertentu dan juga ada imbalan, jelas menyalahi UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Jadi tidak ada perkawinan secara hukum. Apabila kawin kontrak didasarkan pada hukum perjanjian, juga tidak bisa. Syarat sahnya perjanjian ada 4, yaitu sepakat kedua belah pihak, cakap dalam perikatan, yang diperjanjikan adalah suatu hal tertentu, dan perjanjian dilakukan atas kausa yang halal.
Perkawinan sendiri bukanlah perjanjian biasa, apalagi melihat tujuannya untuk membangun sebuah keluarga. Artinya, kehidupan baru yang dibangun bukanlah untuk kenikmatan sesaat atau dibangun berdasarkan kesepakatan untuk waktu tertentu. Jadi kawin kontrak sendiri bukan bentuk yang disyaratkan UU No.1 tahun 1974.

4.     Menurut Hukum Agama Islam
Dikalangan umat islam, sudah sejak lama dikenal kawin kontrak yaitu dengan istilah nikah mut’ah. Diawal era islam nikah mut’ah telah ada, adanya nikah mut’ah karena banyak orang-orang tidak berada dinegerinya atau ditempat tinggalnya karena sedang dalam peperangan ditempat yang jauh dan dalam perjalanan yang panjang. Pada saat itu masih banyak orang-orang yang meninggalkan masa jahiliyah dan kekafiran, sehingga untuk menghentikan mereka dari perbuatan keji dilakukan dengan cara bertahap. Kata nikah mut’ah berasal dari kata At-tamatu yang menurut bahasa arab mempunyai arti bersenang-senang.
Menurut istilah fikih, nikah mut’ah atau kawin kontrak adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, dengan memberikan sejumlah harta tertentu, dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan, tanpa talak, tanpa kewajiban memberi nafkah maupun tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya, jika salah satu dari keduanya mati sebelum berakhirnya nikah mut’ah itu. Kawin ini di katakan mut’ah atau bersenang-senang, karena akadnya semata-mata untuk senang-senang saja antara laki-laki perempuan dan untuk memuaskan nafsu, bukan untuk bergaul untuk sebagai suami istri, bukan untuk mendapatkan keturunan atau hidup sebagai suami istrui dengan membina rumah tangga sejahtera.
Nikah mut’ah atau kawin mut’ah juga dinamakan kawin muaqqat artinya kawin untuk waktu tertentu atau kawin munqathi artinya kawin terputus yaitu seorang laki-laki mengikat perkawinan dengan perempuan untuk beberapa hari, seminggu atau sebulan.  Menurut pendapat seorang ahli tafsir Ibnu’Athiyah Al Andalusi, bahwa nikah mut’ah atau kawin kontrak adalah seorang lelaki menikahi seorang wanita dengan dua orang saksi dan izin wali dalam waktu tertentu, tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya. Silelaki memberinya uang menurut kesepakatan keduanya. Apabila masanya telah berakhir, maka silelaki tak mempunyai hak lagi atas siwanita, dan siwanita harus membersihkan rahimnya. Apabila tidak hamil maka ia dihalalkan menikah lagi dengan lelaki lainnya. Pada pelaksanaan nikah mut’ah adanya saksi dalam akad nikah, hukumnya mustahab/tidak mewajibkannya.
Demikian pula izin wali tidaklah merupakan suatu keharusan hanya saja hal itu merupakan suatu kehati-hatian jika siwanita masih gadis. Dalam kawin mut’ah tidak aturan tentang talak karena perkawinan itu akan berakhir dengan habisnya waktu yang telah ditentukan. Setelah masa nikah berakhir, masa iddah bagi istri adalah 2 kali haid. Jika tidak datang bulan, maka masa iddahnya 45 hari, tapi jika suami meninggal dunia masa iddahnya 4 bulan 10 hari, dan tidak ada hak waris-mewarisi suami istri tersebut. Nikah mut’ah dilarang dalam islam, berdasarkan firman Allah dalam Al Quran surat Al Mukminun ayat 7 yang artinya “Barang siapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampai batas”. Sedang Hadist Rasulullah yang mengharamkan nikah mut’ah seperti diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Ibnu Hibban adalah “Wahai sekalian manusia, sungguh saya pernah mengizinkan kalian untuk kawin mut’ah, ingatlah bahwa sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kaimat”.
Nikah mut’ah termasuk menyimpang dari ketentuan yang digariskan Allah, karena wanita yang di akad/ diikat kontrak tersebut tidak termasuk budak wanita yang dimilikinya dan tidak pula termasuk istrinya. Adapun akad perkawinan selalu diikuti oleh sahnya talak, saling mewarisi, iddah dan kewajiban memberi nafkah, yang mana semua itu tidak ada praktisi hukumnya dalam nikah mut’ah. Di dalam nikah mut’ah tidak terdapat persyaratan sebagaimana yang ada pada nikah biasa kecuali akad dalam bentuk perjanjian biasa. Selain itu tujuan luhur yang terkandung dalam perkawinan tidak ada dalam nikah mut’ah. Seseorang yang melakukan nikah mut’ah tidak bertujuan mempunyai anak, bahkan nikah mut’ah bisa berakibat tidak menentunya garis keturunan. Dan sya’riat menganjurkan supaya akad nikah didasarkan atas dasar kasih sayang, cinta dan rasa kebersamaan dalam hidup.
Rasa saling menyayangi dan kebersamaan tidak akan timbul dari ikatan atau akad yang hanya bertujuan untuk melampiaskan nafsu syahwat dalam jangka waktu terbatas, bukankah pernikahan seperti itu sama dengan praktik zina. Dan bukankah zina itu bukan terjadi atas dasar suka sama suka antara keduanya sekedar untuk mengumbar nafsu dan itulah yang menjadi dasar terjadinya nikah mut’ah. Maka apabilanikah mut’ah dibolehkan, maka hal ini akan dijadikan kesempatan bagi orang-orang yang suka berbuat iseng untuk menghindari ikatan perkawinan yang sah.
Untuk mencegah terjadinya nikah mut’ah, Majelis Ulama Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan fatwa No. Kep-B-679/MUI/XI/1997. Fatwa itu memutuskan bahwa nikah mut’ah haram hukumnya dan pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pendapat Para Ulama' Tentang hukum Nikah Muth'ah
1. Jumhur Ulama'
Kebanyakan dari para shahabat dan semua Ulama'-Ulama' fiqih mengharamkan nikah muth'ah berdasarkan hadist Rasulullah yang mutawatir tentang pengharaman nikah tersebut. Yang menjadi ikhtilaf dikalangan mereka adalah waktu pengharaman nikah muth'ah. Dari sebagian riwayat yang mengharamkannya pada perang khaibar, ada yang sebagian pada penaklukan Makah, ada yang sebagian pada waktu perang Tabuk, ada yang sebagian pada haji wada', ada yang sebagian pada umrah qadha' dan ada sebagian pada waktu tahun Authas.
2. Ibn Abbas
Yang telah terkenal bahwasanya Beliau menghalalkan nikah muth'ah. Ibn Abbas ini mengikuti pendapat dari ahli Makah dan Ahli Yaman, mereka meriwayatkan bahwasanya Ibn Abbas dalam Firman Allah :
فَمَااسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَأُتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ (النساء : )
Artinya :
Maka istri-istri yang telah kamu ni'mati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagaian sebagai kewajiban dan tiada dosa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar. (An-nisa' : 24)
Dan pada suatu huruf darinya (ibn Abbas) sampai batas waktu yang ditentukan, diriwayatkan darinya sesungguhnya dia berkata : "muth'ah (bersenang-senang terhadap istri) tidak lain adalah rahmat dari Allah Azza Wa Jalla, Dia telah memberikan rahmat kepada umat Muhammad SAW berupa muth'ah, dan Umar tidak melarangnya karena dalam keadaan terpaksa takut untuk zina kecuali bagi yang impoten. Dan ini diriwayatkan dari Ibn Abbas rawi darinya Jarih, Umar, dan Ibn Dinar. Dari Atha' ia berkata : saya mendengar jabir bin Abdillah berkata : kami melakukan nikah muth'ah sejak masa Rasulullah kemudian kepemimpinan Abu Bakar, dan setengah dari kepemimpinan Umar kemudian setelah itu Umar melarang muth'ah kepada semua manusia (umat muslim).
Gambaran Nikah Mut’ah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelas sekali gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
·         Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
·         Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
·         Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
·         Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)
5.     Menurut Pandangan Kaum Sunni dan Syiah
a)      Pandangan Kaum Syi’ah (Itsna ‘Asyariyah)
Dasar legitimasi kaum Syi’ah terhadap nikah mut’ah adalah QS an-Nisa’, 4: 24,
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dalam Tarikh al-Fiqh al-Ja’fari dijelaskan, bahwa ketika Abu Nashrah bertanya kepada Ibn Abbas tentang nikah mut’ah, Ibn Abbas menerangkan, nikah itu diperbolehkan dengan bersarkan َQS an-Nisa’, 4: 24 seperti telah ditulis di atas. Akan tetapi menurut Ibn Abbas, lengkapnya ayat itu adalah (terdapat kalimat tambahan الى اجل مسم ):
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ (الى اجل مسم) فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Sahabat lain yang sependapat dengan Ibn Abbas (termasuk membenarkan bacaan Ibn Abbas terhadap Q.S. an-Nisa’: 24) adalah Ibn Mas’ud, Ubay Ibn Ka’ab, dan Said Ibn Zubair.
Kaum Syi’ah berpendirian bahwa praktik nikah mut’ah terdapat pada masa Nabi dan Khalifah Pertama. Baru pada periode Khalifah Kedua, yakni Khalifah Umar Ibn Khattab, nikah mut’ah dilarang. Ucapan Umar saat itu adalah:
“Saya telah melarang dua jenis mut’ah yang ada di masa Nabi dan Abu Bakar, dan saya akan berikan hukuman kepada mereka yang tidak mematuhi perintah-perintah saya. Kedua mut’ah itu adalah mut’ah mengenahi haji dan mut’ah mengenai wanita.”
Kalau melihat ucapan Khalifah umar di atas, maka dapat dipahami bahwa nikah mut’ah dipraktikkan oleh para sahabat pada baik pada masa Nabi maupun Khalifah Abu Bakar. Dalam Sunnah Baihaqy 7: 206, terdapat pula keterangan yang menunjukkan larangan Umar terhadap nikah mut’ah, walaupun banyak para shahabat yang melakukannya di era Nabi dan Khalifah Kedua. Sehingga unggapan yang sering dilontarkan kalangan Syi’ah dalam masalah ini adalah: ”Manakah yang harus kita pegang: taqrir Nabi yang membiarkan shahabatnya melakukan mut’ah atau hadis larangan Umar?”
Kaum Syi’ah yang mengikuti ajaran-ajaran para Imam dari Ahlu al-Bait masih menganggap nikah mut’ah tetap berlaku menurut syari’att sebagaimana halnya masa hidup Nabi itu sendiri. Thabathaba’I dalam masalah ini mengutip beberapa ayat tentang suami-isteri:
Q.S. al-Mu’minun, 23: 5-7
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(5)إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ(6)فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ(7)

Q.S. al-Ma’arij, 70: 29-31
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(29)إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ(30)فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ(31)
Menurut ath-Thabathaba’i, ayat-ayat ini diturunkan di Mekah, dan semenjak diturunkan hingga hijrah, nikah mut’ah dipraktikkan oleh kaum Muslimin. Apabila nikah mut’ah itu bukan merupakan pernikahan yang sebenarnya (halal/sah), dan para perempuan yang telah menikah berdasarkan itu bukan isteri-isteri yang sah menurut syari’ah, maka, lanjut Thabathaba’i, ayat-ayat al-Quran tersebut tentulah akan menganggap para perempuan itu sebagai pelanggar hukum dan sudah pasti mereka dilarang untuk mempraktikkan mut’ah. Sehingga Thabathaba’i menegaskan kembali bahwa nikah mut’ah merupakan pernikahan yang sah menurut syari’ah dan bukan bentuk perzinaan.
Sampai hari ini, kaum Syi’ah, khususnya di Iran, masih tetap memelihara legitimasi pernikahan mut’ah. Akan tetapi selama rezim Pahlevi (1925-1979), walaupun bukan ilegal, pernikahan mut’ah dipandang secara negatif. Kebanyakan kaum terpelajar Iran dan kelas menengah lainnya menganggap pernikahan seperti ini sebagai bentuk pelecehan terhadap perempuan dan nilai moral universal, sehingga mereka tidak tertarik untuk melakukannya. Sebaliknya, pernikahan mut’ah di Iran banyak dilakukan oleh kaum perkotaan pinggiran, dan populer terutama di sekitar pusat-pusat ziarah.
b)      Pandangan Kaum Sunni
Seperti telah dinyatakan di muka, pandangan kaum Sunni terhadap nikah mut’ah sangat jelas, yakni haram. Alasan keharamannya adalah karena pernikahan model seperti ini tidak sesuai dengan tujuan pernikahan yang dinyatakan dalam al-Quran. Disamping itu, pernikahan mut’ah juga bertentangan dengan ketentuan dalam pernikahan yang telah dinyatakan dalanm al-Quran dan al-Hadis, yaitu dalam masalah thalaq, iddah dan warisan.
Diantara ayat-ayat al-Quran yang menjadi dasar tujuan pernikahan diantaranya adalah:
Q.S. Adz-Dzariyat, 51: 49
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Q.S. An-Nisa’, 4: 1
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً
Q.S. Ar-Rum, 30: 21
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Hadis-hadis yang diperguakan oleh kaum Sunni untuk mengharamkan nikah mut’ah diantaranya adalah sebagai berikut:
1-   حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْبَابِ وَهُوَ يَقُولُ بِمِثْلِ حَدِيثِ ابْنِ نُمَيْرٍ[6]
2- حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْعُزْبَةَ قَدِ اشْتَدَّتْ عَلَيْنَا قَالَ فَاسْتَمْتِعُوا مِنْ هَذِهِ النِّسَاءِ فَأَتَيْنَاهُنَّ فَأَبَيْنَ أَنْ يَنْكِحْنَنَا إِلَّا أَنْ نَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُنَّ أَجَلًا فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اجْعَلُوا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُنَّ أَجَلًا فَخَرَجْتُ أَنَا وَابْنُ عَمٍّ لِي مَعَهُ بُرْدٌ وَمَعِي بُرْدٌ وَبُرْدُهُ أَجْوَدُ مِنْ بُرْدِي وَأَنَا أَشَبُّ مِنْهُ فَأَتَيْنَا عَلَى امْرَأَةٍ فَقَالَتْ بُرْدٌ كَبُرْدٍ فَتَزَوَّجْتُهَا فَمَكَثْتُ عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ ثُمَّ غَدَوْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْبَابِ وَهُوَ يَقُولُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ أَلَا وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيلَهَا وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا[7]
3- حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ قَالَ أَخْبَرَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَيْنَا عُمْرَتَنَا قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَمْتِعُوا مِنْ هَذِهِ النِّسَاءِ قَالَ وَالِاسْتِمْتَاعُ عِنْدَنَا يَوْمُ التَّزْوِيجِ قَالَ فَعَرَضْنَا ذَلِكَ عَلَى النِّسَاءِ فَأَبَيْنَ إِلَّا أَنْ يُضْرَبَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُنَّ أَجَلًا قَالَ فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ افْعَلُوا فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَابْنُ عَمٍّ لِي وَمَعَهُ بُرْدَةٌ وَمَعِي بُرْدَةٌ وَبُرْدَتُهُ أَجْوَدُ مِنْ بُرْدَتِي وَأَنَا أَشَبُّ مِنْهُ فَأَتَيْنَا امْرَأَةً فَعَرَضْنَا ذَلِكَ عَلَيْهَا فَأَعْجَبَهَا شَبَابِي وَأَعْجَبَهَا بُرْدُ ابْنِ عَمِّي فَقَالَتْ بُرْدٌ كَبُرْدٍ قَالَ فَتَزَوَّجْتُهَا فَكَانَ الْأَجَلُ بَيْنِي وَبَيْنَهَا عَشْرًا قَالَ فَبِتُّ عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ ثُمَّ أَصْبَحْتُ غَادِيًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْبَابِ وَالْحَجَرِ يَخْطُبُ النَّاسَ يَقُولُ أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ هَذِهِ النِّسَاءِ أَلَا وَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهَا وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا[8] *
4- و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى يَوْمَ الْفَتْحِ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ [9] *
5- حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ و حَدَّثَنَاه عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا جُوَيْرِيَةُ عَنْ مَالِكٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ سَمِعَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ يَقُولُ لِفُلَانٍ إِنَّكَ رَجُلٌ تَائِهٌ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ [10]
Hadis-hadis di atas tidak diragukan lagi nilai keshahihannya. Apalagi yang meriwayatkan diantanya adalah Bukhari dan Muslim. Walaupun sebenarnya tinjauan sanad saja tidak cukup untuk menjadikan hadis bisa dinilai otentik sebagai sumber ajaran Islam. Akan tetapi, dengan dukungan nilai-nilai al-Quran tentang pernikahan yang maknanya sesuai dengan semangat larangan nikah mut’ah dalam hadis-hadis tersebut, maka kedudukannya menjadi sangat kokoh dan otentik sebagai sumber ajaran Islam.
Dilihat dari perspektif hadis (sebagaimana yang telah dikemukakan di atas), dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah memang telah diharamkan oleh Rasulullah. Sebab-sebab pengharamannya telah banyak diulas oleh ulama-ulama Sunni, diantaranya adalah karena nikah mut’ah semata-mata sebagai tempat untuk melampiaskan nafsu syahwat, sehingga tidak jauh berbeda dengan zina (komunisme seksual).
Disamping itu, nikah mut’ah menurut kalangan Sunni, telah menempatkan perempuan pada titik bahaya, karena ibarat sebuah benda yang bisa pindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Pernikahan jenis ini juga dinilai merugikan anak-anak, karena mereka tidak mendapatkan kasih sayang sempurna sebuah keluarga dan jaminan kesejahteraan serta pendidikan yang baik.
Pernikahan, seperti yang telah menjadi cita-cita Islam, haruslah bertumpu pada pondasi yang stabil, suatu pasangan, ketika mula-mula dipersatukan oleh sebuah ikatan pernikahan, harus memandang diri meraka terpaut satu sama lain untuk selamanya, dan gagasan perceraian tidak boleh memasuki pikiran mereka. Oleh karena itu, sebagaimana pendapat kalangan Sunni, pernikahan mut’ah tidak dapat menjadi tumpuan kebersamaan hidup suami isteri yang damai dan sejahtera.
6.     Tinjauan Historis-Sosiologis
Sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber Syi’ah, nikah mut’ah merupakan suatu fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri, bahwa pernikahan jenis ini dipraktikkan oleh para shahabat sejak era permulaan Islam, yaitu sejak wahyu pertama dan hijrah Nabi ke Madinah. Seperti dalam peristiwa Zubair Ash-Shahabi yang menikahi Asma’, putri Abu Bakar dalam suatu pernikahan sementara (mut’ah).
Masih menurut sumber Syi’ah, nikah mut’ah juga dipraktikkan semenjak hijrah hingga wafatnya Nabi. Bahkan setelah peristiwa itu, selama pemerintahan Khalifah Pertama dan sebagian dari masa pemerintahan Khalifah Kedua, kaum muslimin meneruskan praktik itu sampai saat dilarang oleh Umar Ibn Khattab sebagai Khalifah Kedua.
Tentu saja historisitas seperti ini ditolak oleh kalangan Sunni yang menganggap Nabi sudah melarang nikah mut’ah sejak Perang Khaibar dan peristiwa Fathul Makkah, seperti tertuang dalam hadis yang telah dikemukakan di muka. Mengapa kaum Syi’ah mengabaikan hadis-hadis seperti ini? Jawabannya adalah, karena kaum Syi’ah mempunyi argumen tersendiri mengenai jalur-jalur sanad dalam sebuah periwayatan Hadis. Kaum Syi’ah hanya bisa menerima jalur sanad yang melalui Ahlu al-Bait, dan jika terdapat hadis yang bertentangan dengan riwayat Ahlu al-Bait, maka hadis tersebut ditolak.
Mengenai larangan Umar terhadap praktik nikah mut’ah, menarik untuk dicermati bahwa larangan ini juga diakui ada dalam beberapa kitab fiqih kaum Sunni. Analisis yang bisa dikemukakan di sini adalah, apakah laranga itu terkait dengan kewenangan Umar sebagai pemimpin agama atau ini hanya sekedar strategi dakwah Islam (kebijakan politik). Jika dipahami ini sebagai kebijakan politik yang terkait dengan dakwah Islam, maka akan ditemukan relevansinya dengan persoalan umat saat itu. Pada era Umar, umat Islam (para shahabat) banyak yang bertebaran di wilayah-wilayah taklukan dan mereka bercampur baur dengan masyarakat yang baru saja memeluk Islam. Jika para shahabat itu diberi kebebasan untuk melakukan nikah mut’ah, maka yang dikhawatirkan adalah akan muncul generasi-generasi baru Islam hasil pernikahan mut’ah yang tidak jelas warna keislamannya. Dengan alasan inilah, maka Umar melarang nikah mut’ah. Sehingga dapat dipahami, larangan ini bukan larangan mermanen, tetapi hanya sementara waktu karena terkait dengan persoalan keummatan saat itu.
Sepintas, nikah mut’ah adalah implementasi paling kasat mata bagaimana kedudukan perempuan tidak begitu dihargai. Berbeda dengan nikah permanen yang diasumsikan telah menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Menurut Ustadz Ahmad Baraghah, nikah mut’ah justeru meningkatkan derajat kaum perempuan. Alasannya, dalam mut’ah perempuan dimungkinkan membuat persyaratan tertentu yang harus disetujui oleh pihak laki-laki. Dengan kewenangan ini, masih menurut Baraghah, perempuan dapat meningkatkan bergainning position-nya bila akan melaksanakan nikah mut’ah. Secara sosiologis, nikah mut’ah menjadi bukan persoalan serius ketika dipraktikkan dalam kondisi masyarakat Muslim yang sudah mempunyai tingkat kesejahteraan yang memadai dan pendidikan yang maju. Anggota masyarakat Muslim ini mempunyi otonomi pribadi atau kewenangan individual yang penuh dalam menentukan nasibnya.
Dalam tradisi Persia atau Iran sekarang, nikah mut’ah bukanlah sumber penyakit sosial seperti yang disumsikan oleh kalangan Sunni. Para perempuan Iran khususnya, mempunyai nilai tawar yang tinggi sebelum melakukan nikah mut’ah, sehingga dalam praktiknya mereka jarang yang melakukan pernikahan model ini. Tetapi, kondisinya adalah jauh berbeda jika nikah mut’ah dilegalisasi di dalam komunitas masyarakat Muslim yang tingkat kesejahteraan dan pendikannya masih rendah, seperti di Indonesia misalnya. Nikah mut’ah dalam komunitas masyarakat Muslim yang rata-rata miskin dan bodoh, hanya menjadi komoditas pemuas nafsu laki-laki berkuasa yang pada akhirnya akan mengakibatkan kesengsaraan berlipat bagi perempuan dan anak-anak. Dan tentu saja nikah seperti itu akan jauh dari tujuan pernikahan itu sendiri.
7.     Ditinjau dari Sudut Pandang Sosial dan Budaya
Dari sudut sosial-budaya, praktik kawin kontrak merusak sistem sosial-budaya luhur yang dianut oleh Bangsa Indonesia. Apalagi jika hal itu dilakukan dengan embel-embel pemahaman keagamaan. Hal demikian, tentu mencoreng citra agama secara umum yang seharusnya menjaga nilai-nilai moral. Sedangkan dikaitkan dengan person, martabat kemanusiaan seolah tergadaikan demi nafsu syahwat dan uang berlimpah. Lebih parah lagi, perempuan sebagai manusia yang juga memiliki kehormatan diri dikorbankan, bahkan korban yang paling dikorbankan. Belum lagi nasib anak-anak hasil kawin kontrak ini akan dikemanakan? Siapa yang akan mengurus mereka dalam meraih masa depannya? Bagaimana biaya pendidikan dan kesehatan anak-anak ini? Padahal sebagai anak, mereka tidak punya saham sedikitpun dalam praktik kawin kontrak, juga tidak mendapatkan "bagi hasil" apapun darinya. Justru "saham" yang ditanam "bapak biologis"-nya itu yang kemudian tumbuh menjadi "anak".
Jelaslah, berbagai kerugian, baik moril dan materiil yang diderita sangatlah besar dan menimpa banyak pihak. Sekali lagi, martabat perempuan sebagai manusia, bahkan seluruh perempuan, dan anak-anak dilecehkan dan dijadikan kelinci percobaan. Nilai kemanusiaan telah direndahkan, digadaikan, dan dieksploitasi oleh kepentingan "bisnis syahwat" dalam bentuk kawin kontrak atau nikah mut’ah. Karenanya, kawin kontrak atau nikah mut’ah layak juga disebut perbudakan model baru
8.     Ditinjau dari Sudut Pandang Ekonomi
Perkawinan secara kontrak, apapun alasannya itu akan sangat merugikan. Kerugian yang dimaksud di sini adalah kerugian secara fisik dari kedua belah pihak (apabila satu atau keduanya masih dalam status “asli” (perawan/jejaka)). Dalam hal kerugian yang diterima adalah bahwa setelah berakhirnya kontrak, secara fisik akan terdapat sesuatu yang hilang berupa hilangnya keperjakaan ataupun kegadisan melalui cara yang tidak sah. Selain itu juga akan timbul akibat mental bagi pihak yang setelah berakhirnya kontrak, pihak yang lain pergi tanpa memberikan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh seorang suami/istri dalam perkawinan yang sah.
Jika berkenaan dengan masalah keturunan, meskipun seorang perempuan dikawini dalam ikatan kontrak namun jika Tuhan menghendaki terjadinya kehamilan pada perempuan tersebut, maka segala kewajiban terhadap anak yang dikandungnya harus dipikulnya sendiri. Dan bagi si anak jika lahir dalam keadaan hidup dia tidak akan mmperoleh hak-hak dan status hukum yang layak karena berdasarkan pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.“
Kawin kontrak adalah perkawinan yang secara agama dan hukum tidak sah, sehingga secara otomatis status kelahirannya juga tidak sah.Adapun menyangkut masalah pewarisan, secara perdata berdasarkan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dia hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Selain itu sanksi sosial juga mengancam para pelaku. Pada umumnya apabila masyarakat mengetahui terjadinya perkawinan kontrak, maka si pelaku dengan sendirinya akan mendapatkan sanksi social berupa pengucilan, cemoohan, dan lain-lain yang tentunya hal tersebut akan dapat menghambat proses interaksi antara pelaku (tidak menutup kemungkinan juga terhadap anak yang lahir) dengan masyarakat sekitarnya. Sedangkan akibat yang lainnya yaitu apabila yang melakukan kawin kontrak salah satunya adalah warga Negara asing, maka ia akan dijerat dengan peraturan keimigrasian yang kemungkinn besar sanksinya adalah pendeportasian.


9.     Fakta kawin kontrak di Indonesia
Majalah Gatra, No. 39, 10 Agustus 2006 mengangkat laporan tentang petualangan para pelaku kawin kontrak di kawasan Bogor dan sekitarnya. Penggalan cerita di bawah ini diharapkan dapat menggambarkan realitas kawin kontrak di beberapa lokasi di Indonesia. Berikut beberapa petikannya.
Sebut saja L (23 tahun), bukan nama sebenarnya, asal Sukabumi, Jawa Barat yang menikah dengan I (55 tahun) asal negeri kaya minyak dengan mahar Rp 2 juta dalam waktu 2 hari. Bertempat di sebuah villa di kawasan Puncak, Bogor, ritual pernikahan yang terjadi setahun lalu itu hanya berlangsung tak lebih dari 15 menit. Namun, itu dianggap sudah cukup untuk meng-"halal"-kan hubungan L dan I sebagai suami-istri.
Selesai ijab kabul, I langsung memboyong L ke penginapannya di sebuah villa di Jalan Puncak Raya, Cisarua, Bogor. L, sesuai kontrak sebelum pernikahan, hanya menjadi "istri" I selama dua hari saja. Setelah itu, status L "bebas" lagi. Ia bisa kembali mencari "suami" baru yang ingin menikahinya dalam waktu dan maskawin tertentu.
L menekuni profesi sebagai "pekerja nikah mut'ah" sejak empat tahun lalu. Pada 2003, sete-lah berpisah dari suami pertamanya asal Sukabumi, L memutuskan menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Riyadh, Arab Saudi. Di sana ia menikah dengan orang Arab Saudi bernama F (40 tahun).
Merasa kurang cocok dengan F, L akhirnya pulang ke Indonesia pada 2004. Setelah itu, ia berkali-kali menikah mut'ah dengan orang-orang asal Timur Tengah di Indonesia. Dari U (38 tahun), A (35 tahun), H (40 tahun), hingga I (55 tahun) yang sudah disebut. Kini, entah mengapa, L kembali lagi ke pangkuan F sebagai pembantu rumah tangga sekaligus istrinya secara kontrak. "Rasa cemburu antara saya dan istri F jelas ada. Walau demikian, saya menikmatinya kok," tutur L. "Ya, namanya juga cari duit. Beginilah nasib saya," ucapnya, pasrah.
Pengalaman hampir sama dirasakan M. Perempuan 30 tahun asal Cilacap, Jawa Tengah ini pertama kali menikah dengan A (45 tahun) pada 2004. Dari A, M menerima mahar sebesar Rp 3 juta dan nafkah bulanan juga Rp 3 juta. Sebenarnya M ingin hidup selamanya dengan A. Namun, karena A memintanya pindah ke negeri asal, M menolak. Perjalanan rumah tangga A dan M pun berakhir setelah tujuh bulan.
Karena susah mencari pekerjaan, apalagi dengan tiga anak dari dua suami pribumi sebelum A, M terjun ke dunia kawin kontrak lagi. Dua tahun terakhir, M sudah menikah mut'ah lebih dari tujuh kali. Persisnya, ia bahkan mengaku lupa. Yang aneh dari M, meski sudah nikah mut'ah dengan A, ia juga menikah mut'ah dengan pria lainnya. Caranya, ketika A pulang ke negerinya, ia mencari sampingan dengan menikah mut'ah lagi dengan orang lain yang negerinya sama.
Proses menuju pernikahan kontrak di Cisarua tidaklah rumit. Bisa menempuh tiga jalur: langsung berhubungan dengan mempelai perempuan, mucikari, atau melalui calo yang diteruskan ke mucikari. Kesepakatan biasanya terjadi setelah kedua calon pengantin bertemu membicarakan soal nominal maskawin dan batasan waktu hidup bersama.
Oleh karena itu, selama permasalahan ekonomi di negeri tercinta ini belum terselesaikan dan masalah orang miskin belum mempunyai jalan keluar yang layak maka permasalahan mengenai nikah mut’ah atau kawin kontrak ini un tidak akan pernah terselesaikan. Karena, sebagian besar alasan dari melakukan nikah mut’ah ini adalah permasalahan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup jadi peningkatan taraf hiduplah satu-satunya solusi untuk mengurangi terjadinya nikah mut’ah di negeri ini.


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas yang telah saya uraikan di atas, maka saya menarik kesimpulan sebagai berikut:
Latar belakang yang mendorong wanita melakukan kawin kontrak adalah:
a. Ekonomi
b. Agama
c. Sosial
d. Budaya
Sedangkan tujuan wanita  melakukan kawin kontrak adalah:
a. Ekonomi
b. Biologis

Proses pelaksanaan kawin kontrak   diproses dengan hukum agama Islam karena lebih mudah dan cepat. Secara formal proses perkawinan dilakukan sesuai dengan hukum Islam namun dalam membangun rumah tangga tidak menjiwai perkawinan sebagaimana diatur dalam Islam tetapi lebih disesuaikan dengan perjanjian yang sudah dibuat. Dampak dari pelaksanaan kawin kontrak adalah munculnya potensi konflik yang sangat besar antara suami istri kaitannya dengan keturunan, maupun harta kekayaan masing-masing pihak, sehingga tujuan perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 dan hukum Islam yaitu membentuk rumah tangga yang kekal, bahagia, dan sejahtera lahir maupun batin tidak akan tercapai.

B. SARAN
Menilai dari hasil kesimpulan diatas penulis memberikan saran:
1.        Bagi para Kyai agar membuat kesepakatan bersama dan berani menolak melangsungkan perkawinan sirri karena perkawinan yang demikian tidak tercatat dan dapat dijadikan ajang kawin kontrak, serta menyarankan agar calon pengantin melaksanakan perkawinan sesuai dengan ketentuan UU No.1 tahun 1974, namun apabila terpaksa melakukan kawin sirri hendaknya menanyakan apakah ada perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan hukum Islam.
2.        Agar diadakan penyuluhan tentang masalah perkawinan dengan meminta bantuan para tokoh agama atau tokoh masyarakat melalui kelompok pengajian atau perkumpulan.
3.        Peran orang tua sangat penting bagi kehidupan anak-anaknya dalam pendidikan dan menanamkan pendidikan agama dengan baik sejak kecil, serta melakukan pengawasan terhadap perilaku anak sehari-hari.
4.        Untuk para wanita yang belum menikah perlu lebih memahami tentang perkawinan, dan kelak bila melangsungkan perkawinan agar dilaksanakan sesuai dengan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.



DAFTAR PUSTAKA
Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari UU Perkawinan No.1 Tahun 1974. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Abdul Aziz Dahlan. 2003. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve.
Ramulyo, Mohd. Idris. 2002. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta:Bumi Aksara.
Fakhriah, Efa Laela. Kawin Kontrak Tidak Sesuai Aturan Agama Maupun Negara. 

Bagi sobat yang mau mendownloadnya silahkan tekan Download Sign berikut


Like This Article ?

1 komentar

Aunillah mengatakan...

Terima kasih atas penjelasan tentang kawin kontrak yang lengkap dan mudah dipahami ini... Salam kenal